Yapi Tambayong: Belum ada buku seperti "123 Ayat Tentang Seni" dalam kepustakaan kita

Diantar dengan banyak takzim, yang berarti kemauan tulus untuk merendah di depan Tuan-Tuan dan Puan-Puan...

Bantuan Hukum untuk Orang Miskin

Lord Chancellor belum lama ini telah menunjuk sebuah komite di bawah kepemimpinan Lord Rushcliffe...

Dewi Lestari: Editor Adalah Penangkal Kejenuhan Para Penulis

Banyak orang beranggapan bahwa saya adalah penulis yang tidak suka diedit. Sebetulnya itu opini yang keliru.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat: Pintu Pencerahan

Kita semua terlahir dan tumbuh bersama orang lain. Nilai-nilai kejahatan dan kebaikan pun tak akan terwujud tanpa melibatkan orang lain. Begitupun perintah berdakwah tidak akan terlaksana jika tak ada obyek yang diseru...

Dr. Ajid Tohir: Nabi Muhammad Saw dalam Kajian Ilmu Sosial-Humaniora

Tradisi menulis dan membaca kitab Sirah Nabawiyah terus dilakukan dari generasi tabi’in, tabi’it-tabi’in hingga sekarang dengan berbagai keragaman sudut pandang....

Jumat, 20 Februari 2015

Samuel A. Kirk: Pertumbuhan Pendidikan Luar Biasa Telah Berkembang Selama 150 Tahun yang Lalu

Disusun dan diterbitkannya encyclopedia ini menunjukkan semakin dewasanya suatu bidang upaya yang belum lama berselang. Buku ini merupakan fokus yang berpihak pada kepentingan umum, meskipun masyarakat yang peduli ilmu ini masih terbatas. Mudah-mudahan buku ini ber­manfaat bagi masyarakat luas maupun untuk per­kem­­bangan pendidikan khusus (pendidikan luar biasa).
Orang-orang (baik secara individu maupun lembaga) yang telah melayani dan mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan luar biasa selama bertahun-tahun, patut merenung. Mengapa? Ketika kepedulian masyarakat dan komitmennya terhadap kebutuhan anak luar biasa terasa minimal atau bahkan kurang, tetapi hari ini mereka tidak dapat berbuat lain selain merasa senang dan kagum terhadap usaha luas yang telah dicapainya sekarang.

Pertumbuhan pendidikan luar biasa telah berkembang secara bertahap selama 150 tahun yang lalu. Periode pertama, sekitar tahun 1850 sampai 1900, perhatian, pengelolaan, dan pendidikan anak-anak berkelainan dilakukan khususnya di lembaga-lembaga untuk anak buta (tunanetra), tuli (tunarungu), bisu (tunawicara), terbelakang mental (tunagrahita), dan anak-anak nakal (tunalaras), dan di sarana-sarana lain yang disponsori lembaga keagamaan. Periode kedua, dari tahun 1900 sampai sekitar 1950, sekolah-sekolah umum di berbagai kota besar mulai mendidik sebagian kecil dari anak-anak berkelainan dan anak berbakat. Periode ketiga, setelah tahun 1950, beberapa negara mulai memberi subsidi kepada sekolah-sekolah umum lokal untuk mendorong didirikannya pendi­dikan luar biasa untuk mengurangi tuntutan yang dikenakan atas sekolah-sekolah daerah di negara yang terlalu padat dan yang sudah rusak. Selama masa ini pemerintah federal tidak memberi bantuan keuangan kepada negara-negara bagian, karena menganggap bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara, dan bantuan federal tersebut akan menuju kepada pengawasan pendidikan federal.

Pada tahun 1950-an, preseden penolakan bantu­an federal dibuang. Orangtua mulai mengatur dan menuntut pelayanan untuk anak-anaknya yang berkelainan. Tuntutan mereka meluas di luar badan pembentuk undang-undang negara, dan akhirnya mencapai Gedung Putih. Presiden Dwight Eisenhower mendengarkan dan akibatnya meminta Kongres untuk memberi bantuan. Kongres memberi respons dengan memperkirakan beberapa juta dollar yang akan digunakan untuk penelitian dan persiapan penataan personalia yang profesional.  
Perluasan utama dan revolusi sosial terjadi pada tahun 1960-an selama pemerintahan John F. Kennedy. Setelah tindakan awal yang dilakukan presiden Eisenhower, presiden Kennedy mengirimkan satuan-satuan tugas ke beberapa negara di seluruh dunia untuk meneliti program mereka bagi anak-anak ber­kelainan.

Satuan tugas ke Uni Soviet, di mana saya ber­untung menjadi anggota, mengunjungi laboratorim-laboratorium dan sekolah-sekolah di negara tersebut selama tiga minggu, dan kembali untuk melaporkan hasil temuan mereka kepada presiden. Setelah mendengarkan laporan kemajuan di Uni Soviet, Presiden Kennedy bertanya: “Apakah Anda bermaksud untuk  mengatakan bahwa negara terbesar dan terkaya di dunia tidak bekerja sebaik Uni Soviet?” Ternyata, bulan Januari berikutnya, ia menyampaikan kepada Kongres suatu program yang luas untuk penelitian dan pelatihan berjudul “Mental Retardation Facilities and Community Mental Health Centers Construction Act”, tahun 1963. Ini diikuti oleh sejumlah perjanjian-perjanjian Kongres yang mencakup banyak jenis layanan dan jasa. Pada tahun 1975 Kongres melaksanakan Publik Law 94–142, “The Educatin for All Handicapped Children Act”. Secara menarik, perjanjian ini mengikuti Declaration of Independence yang dihormati. Ini diungkapkan sebagai berikut:

Kami menganggap kebenaran ini sebagai pem­buktian-sendiri, bahwa semua anak, berkelainan atau tidak, diciptakan sama; bahwa mereka diberkahi oleh Sang Pencipta mereka dengan hak-hak yang tidak dapat dicabut secara serta-merta, di antaranya hak atas pendidikan yang sama kepada kemampuan maksi­mum masing-masing anak. Untuk menjamin hak-hak ini, Public Law 94–142 disusun. Kami, rakyat Amerika Serikat, dengan sungguh-sungguh menya­ta­kan bahwa semua anak-anak luar biasa akan men­dapat pendidikan atas biaya umum, dan bahwa pendidikan mereka akan diberikan di dalam ling­kung­an yang paling tidak membatasi (Kirk & Gallanger, 1979: xi).

Adalah sangat menyenangkan untuk melihat pendidikan luar biasa telah menjadi komitmen umum yang penting bagi para siswa luar biasa, bukan hanya di Amerika Serikat tetapi hampir di seluruh dunia. Ini bukan saja berlaku di Kanada dan Eropa Barat, yang prestasinya di banyak bidang jasa (pela­yanan) pendidikan luar biasa seringkali men­dahului dan mengilhami Amerika Serikat selain juga Jepang, Indonesia, dan negara-negara lain kurang maju dan kurang kaya. Di sana pula, para profesional yang peduli dan orangtua berusaha memberi pendidikan kepada anak-anak dan para pemuda berkelainan, seringkali meski­pun sumber daya yang ada sangat terbatas.

Pertumbuhan pendidikan luar biasa dan komitmen yang sangat baik dari sumber daya keuangan dan manusia untuk jasa dan penelitian selama dua dasawarsa terakhir, membawa arti pada suatu ledakan informasi. Informasi yang menyebar di berbagai jurnal dan buku sangat sulit bagi para profesional untuk dikumpulkan dan diperoleh. Berbagai usaha dilakukan untuk mengendalikan informasi ini. Kontribusi jasa, database, tinjauan, dan buku petunjuk yang mengabstraksi jurnal telah banyak membantu dalam mengelola dasar pengetahuan pendidikan luar biasa. Pada waktu yang bersamaan, usaha ini tidak seluruhnya berhasil dalam mengendalikan informasi secara terpadu, atau menjadikannya mudah diakses bagi para profesional di dalam bidang yang berkaitan atau dengan orang awam yang tertarik.[]

Samuel A. Kirk, dalam buku "Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Luar Biasa"
Penerbit Buku Nuansa Cendekia


Selasa, 10 Februari 2015

Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto: Hubungan Internasional Terlalu Penting untuk Diabaikan Tetapi Juga Terlalu Rumit untuk Dipahami Secara Sekilas

Pada 6-8 September 2000, 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sepakat untuk mengadopsi Millennium Declaration. Deklarasi yang dihasilkan pada forum Millennium Summit ini memuat nilai, prinsip, serta tujuan dari agenda internasional abad ke-21. Melalui deklarasi ini, negara-negara menegaskan komitmen mereka untuk menjadikan equality, solidarity, tolerance, respect for nature, dan shared responsibility sebagai prinsip dan nilai yang menjadi dasar hubungan internasional pada abad ke-21. Tujuan di bidang pembangunan yang ditetapkan dalam Millennium Declaration kemudian dijabarkan ke dalam konsep Millennium Development Goals (MDGs). MDGs mencakup delapan tujuan di bidang pembangunan untuk diwujudkan sebelum tahun 2015, yaitu pemberantasan kemiskinan dan kelaparan; tersedianya pendidikan dasar secara universal; terwujudnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; penurunan angka kematian anak; peningkatan kesehatan ibu; penanggulangan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; pelestarian lingkungan; dan pengembangan kemitraan global untuk pembangunan. Dasar penyusunan MDGs adalah pengakuan terhadap hak setiap individu atas martabat (dignity), kebebasan (freedom), kesetaraan (equality), dan pemenuhan kebutuhan dasar; serta peningkatan toleransi dan solidaritas. 

Disepakatinya nilai, prinsip, dan tujuan dari agenda internasional sebagaimana tercantum dalam Millennium Declaration merupakan refleksi dari rangkaian perubahan tata hubungan internasional pasca Perang Dingin. Sejak itulah lahir kesempatan bagi masyarakat internasional untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap isu-isu pembangunan yang sebelumnya kerap disebut sebagai low politics dan dipandang sebagai isu kelas dua. Perubahan di atas juga tidak dapat dilepaskan dari tiga aspek yang menjadi karakteristik hubungan internasional pasca Perang Dingin. Pertama, hubungan internasional menjadi semakin kompleks sejalan dengan bertambahnya jumlah aktor yang terlibat; semakin beragamnya pola interaksi di antara aktor-aktor tersebut; serta bertambahnya aspek dan isu yang menjadi pokok bahasan. Negara tetap menjadi pelaku utama hubungan internasional namun peran aktor non-negara (seperti organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, dan perusahaan multinasional) juga semakin penting. Keamanan yang secara tradisional merupakan isu utama hubungan internasional tetap mendapatkan tempat khusus, namun isu-isu non-keamanan juga dianggap tidak kalah penting. Hubungan internasional juga tidak lagi identik dengan interaksi formal antarnegara sejalan dengan meningkatnya peran organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, dan aktor non-pemerintah lainnya utamanya pada forum diplomasi multilateral.

Kedua, kompleksitas hubungan internasional juga dibarengi dengan meningkatnya interdependence atau kesalingtergantungan di antara aktor-aktor yang terlibat. Konsep interdependence yang dipopulerkan oleh Nye dan Keohane pada 1977 merujuk pada keterkaitan kondisi, kebijakan, dan tindakan antaraktor dalam hubungan internasional. Menguatnya interdependence membuat satu negara tidak dapat lagi hanya menjadikan kepentingan nasional sebagai satu-satunya dasar pengambilan kebijakan. Negara tersebut juga harus mempertimbangkan dampak kebijakan yang diambil terhadap kepentingan negara-negara lain. Selain itu, interdependence juga meningkatkan kesalingterkaitan di antara isu-isu hubungan internasional sehingga tidak ada lagi isu yang dianggap lebih penting dari yang lain.

Ketiga, globalisasi menyebabkan menipisnya ‘batas’ antarnegara serta berkurangnya perbedaan antara isu domestik dan isu global. Konsep intermestic yang dipopulerkan oleh Manning pada 1977 banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Intermestic adalah singkatan dari international and domestic merujuk pada fenomena meningkatnya kesalingterkaitan antara isu-isu internasional dan domestik. Banyak isu yang sebelumnya dianggap sebagai persoalan domestik, saat ini juga dilihat sebagai isu global dan mendapatkan perhatian yang besar dari masyarakat internasional. Pelestarian lingkungan di satu negara, sebagai contoh, kini dianggap sebagai isu global karena dampak dari pelestarian lingkungan di satu negara baik positif maupun negatif tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di negara tersebut tetapi juga masyarakat di negara-negara lain.

Kompleksitas hubungan internasional, meningkatnya kesalingtergantungan dan derasnya arus globalisasi membuat masyarakat internasional semakin menyadari arti penting collective responsibility. Gagasan tentang collective responsibility sebenarnya bukan merupakan hal baru. Pada 1980, komisi internasional yang dipimpin oleh William Brandt, bekas Kanselir Jerman (Barat), menerbitkan laporan berjudul North-South: A Programme for Survival. Dokumen yang juga dikenal sebagai Brandt Report ini menekankan pentingnya hubungan perdagangan antara negara maju dan negara berkembang yang berlandaskan pada azas manfaat untuk kedua pihak dan pemerataan kesejahteraan untuk negara-negara berkembang. 

Pada tahun 1987, komisi internasional yang diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia Gro Harlem Brundtland menerbitkan laporan yang berjudul Our Common Future. Dokumen yang sering disebut sebagai Brundtland Commission Report ini menekankan pentingnya implementasi konsep pembangunan berkelanjutan untuk mengatasi tingginya tingkat kerusakan lingkungan sebagai dampak pembangunan. Salah satu tindak lanjut dari rekomendasi laporan ini adalah penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi atau Earth Summit (United Nations Conference on Environment and Development) di Rio de Janeiro, Brasil pada Juni 1992. Konferensi ini menghasilkan Rio Declaration on Environment and Development yang memuat prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan bagi negara-negara dalam menjalankan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Pada konferensi ini juga dibuka penandatanganan dua perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan yaitu Convention on Biological Diversity dan United Nations Framework Convention on Climate Change.

Prinsip collective responsibility kemudian diterapkan dalam berbagai situasi, baik secara ad hoc untuk mengatasi permasalahan tertentu yang dihadapi oleh satu negara maupun secara berkelanjutan untuk menyelesaikan persoalan di bidang pembangunan. Secara singkat, saya akan mengulas tiga contoh penerapan prinsip collective responsibility yang memiliki kaitan dengan Indonesia. Tiga contoh tersebut adalah proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca tsunami serta peran aktif Indonesia dalam inisiatif Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation dan Open Government Partneship.

Bencana alam tsunami yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004 mengakibatkan lebih dari 220.000 orang meninggal atau hilang dan 600.000 orang kehilangan tempat tinggal serta mata pencaharian. Besarnya skala kerusakan yang ditimbulkan membuat tsunami Aceh dianggap sebagai salah satu bencana tsunami terbesar dalam perjalanan sejarah manusia. Masyarakat internasional negara, organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, perusahaan multinasional, perorangan merespon peristiwa tersebut dengan memberikan bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk. Selama empat tahun, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias mengelola dana bantuan sebesar 7,2 miliar dolar Amerika Serikat dan mengkoordinasikan 1000 organisasi yang berasal dari lebih dari 50 negara termasuk Indonesia. 

Partisipasi masyarakat internasional menunjukkan bahwa upaya pemulihan kondisi Aceh pasca tsunami tidak dianggap semata-mata sebagai beban serta tanggungjawab pemerintah dan bangsa Indonesia. Sebaliknya, apa yang terjadi di Aceh dianggap sebagai bencana kemanusiaan. Oleh karenanya masyarakat internasional secara kolektif juga merasa bertanggungjawab untuk terlibat dalam penanganan bencana.

Contoh berikutnya adalah partisipasi aktif Indonesia dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau juga dikenal sebagai REDD+. Program ini mencakup berbagai langkah untuk mengurangi emisi dari gas rumah kaca yang timbul akibat deforestasi dan degradasi hutan. Melalui REDD+, negara-negara berkembang yang melakukan upaya pelestarian hutan mereka yang kaya akan karbon mendapatkan insentif keuangan. Skema ini merupakan salah satu elemen kunci dalam mewujudkan komitmen Indonesia mengurangi emisi sebesar 41 persen pada tahun 2020.

REDD+ tidak hanya menekankan aspek pengurangan gas rumah kaca tetapi juga menggarisbawahi peran penting konservasi dan manajemen hutan yang berkesinambungan, serta peningkatan stok hutan karbon. Penerapan skema REDD+ di lapangan juga menitikberatkan pada partisipasi pemangku kepentingan terkait. Atas dasar tersebut, pengambilan keputusan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, penduduk asli dan komunitas tradisional yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Tujuannya adalah untuk memastikan terjaminnya hak-hak kelompok yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. REDD+ mendatangkan keuntungan dua arah bagi Indonesia. Ke dalam, program ini memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian hutan di Indonesia sekaligus memberdayakan perekonomian masyarakat. Ke luar, program ini menjadi kontribusi nyata Indonesia terhadap pengurangan emisi dari gas rumah kaca pada tingkat global sebagai bagian dari upaya menanggulangi dampak pemanasan global.

Contoh ketiga adalah peran aktif Indonesia dalam inisiatif Open Government Partnership (OGP). Inisiatif ini diluncurkan pada 2011 dan diprakarsai oleh Indonesia bersama-sama dengan tujuh negara lain (Afrika Selatan, Amerika Serikat, Brazil, Filipina, Inggris, Meksiko, dan Norwegia) serta sembilan organisasi non-pemerintah. OGP bertujuan untuk mendorong kerjasama antara pemerintah dan masyarakat madani (civil society) untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka (transparent), dapat dipertanggungjawabkan (accountable), dan tanggap terhadap warganya (responsive to their citizens). OGP menggarisbawahi bahwa upaya mewujudkan pemerintahan yang ideal akan lebih efektif jika dilakukan secara bersama-sama oleh negara-negara dengan mengikutsertakan elemen masyarakat madani.

Melalui partisipasi aktif dalam OGP, Indonesia sebagai Ketua Utama OGP pada Oktober 2013 hingga September 2014 membidik dua tujuan sekaligus. Dengan turut serta menggerakkan OGP, Indonesia berupaya mewujudkan sinergi antara pemerintah di berbagai tingkatan (pusat dan daerah) dan elemen masyarakat madani di dalam negeri untuk mewujudkan good governance. Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga turut serta mendorong peningkatan kerjasama pemerintah dan masyarakat madani pada tingkat global sehingga manfaat good governance juga dirasakan oleh masyarakat di negara-negara lain. Inisiatif ini terbukti mendapatkan sambutan positif dan dukungan luas dari masyarakat internasional. Dalam kurun waktu tiga tahun setelah dibentuk, keanggotaan OGP bertambah dari delapan negara menjadi 65 negara.

BRR Aceh-Nias, REDD+ dan Open Government Partnership di mana saya terlibat aktif di ketiganya adalah contoh penerapan prinsip collective responsibility yang Indonesia menjadi bagian di dalamnya. Indonesia juga berperan aktif dalam berbagai kerjasama di bidang-bidang lain seperti penanggulangan terorisme dan kejahatan lintas negara, pemberantasan korupsi, pemberantasan perdagangan gelap narkotika, pengentasan kemiskinan, pelarangan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal, perlindungan hak-hak asasi manusia, perdagangan bebas, demokratisasi, dialog antarkeyakinan, dan seterusnya. 
Peran Indonesia dalam berbagai inisiatif dan kerja sama internasional merupakan suatu keniscayaan. Pada satu sisi, Indonesia tidak mungkin menyelesaikan permasalahan yang dihadapi tanpa keterlibatan pihak lain. Terlebih pada isu-isu yang memiliki dimensi lintas negara. Pada sisi lain, peran aktif Indonesia juga merupakan amanat konstitusi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Peran aktif tersebut tentu saja harus dijalankan secara terencana, terukur dan terkoordinasikan dengan baik dengan tujuan akhir untuk mengamankan kepentingan nasional. Oleh karenanya pengetahuan dasar mengenai hubungan internasional penting untuk dikuasai. Pengetahuan tersebut memungkinkan pengambil dan pelaku kebijakan melihat suatu permasalahan dari perspektif yang luas, tidak hanya dari sudut pandang kepentingan Indonesia tetapi juga dari sudut pandang kepentingan negara-negara lain. Pemahaman yang tepat mengenai isu-isu hubungan internasional juga memungkinkan pengambil kebijakan dapat menyusun strategi yang tepat guna mewujudkan tujuan nasional pada berbagai aspek dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada tingkat global.

Sebagai disiplin ilmu maupun dalam konteks kehidupan sehari-hari, hubungan internasional bersifat kompleks dan dinamis. Kompleks karena melibatkan banyak aktor dengan beragam kepentingan dan dijalankan melalui berbagai macam pola interaksi. Dinamis karena isu yang menjadi pokok bahasan terus berkembang sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Karena penting tetapi juga kompleks, Salmon dan Imber (2008) menyebut bahwa hubungan internasional ‘is too important to be ignored but also too complex to be understood at a glance’. Hubungan internasional terlalu penting untuk diabaikan tetapi juga terlalu rumit untuk dipahami secara sekilas. 

Kamus ini memuat definisi istilah dan terminologi di bidang hubungan internasional, diplomasi, dan politik luar negeri; yang mencakup elemen teori, sejarah dan isu-isu hubungan internasional; sejarah dan praktik diplomasi; kebijakan luar negeri; hukum dan perjanjian internasional; serta organisasi internasional. Penjelasan pada setiap entri disusun dengan bahasa yang mudah dipahami, menjadikannya sebagai referensi awal yang cukup komprehensif. Memuat lebih dari 1.350 entri, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa kamus ini dapat menjadi pintu masuk atau setidaknya quick reference bagi pembaca dari semua kalangan untuk lebih memahami berbagai aspek hubungan internasional.

Jakarta, Januari 2015

Dalam buku Kamus Hubungan Internasional, Khasan Ashari, Penerbit Buku Nuansa Cendekia