Kamis, 13 November 2014

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat: Pintu Pencerahan

Kita semua terlahir dan tumbuh bersama orang lain. Nilai-nilai kejahatan dan kebaikan pun tak akan terwujud tanpa melibatkan orang lain. Begitupun perintah berdakwah tidak akan terlaksana jika tak ada obyek yang diseru. Oleh karena itu, Islam mengajarkan untuk mencintai sesama manusia, apa pun agama dan etnisnya, mengingat semuanya adalah makhluk Allah.

Suatu saat, ketika Rasulullah Muhammad Saw merasa letih berdakwah, dan orang kafir masih terus memusuhi, beliau tetap mendoakan mereka: Allâhumahdi qaumî fa’in­nahum lâ ya‘lamûn (ya Allah, tunjukilah kaumku ini, karena mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui jalan kebenaran).

Dengan dasar pemikiran ini maka silaturahim, saling berwasiat dan dialog tentang kebaikan dan kebenaran menjadi sangat penting dan mulia bagi kita semua. Cahaya kebenaran tidak datang dengan tiba-tiba. Ia mesti dijemput, salah satunya melalui jalan dialog. Di mana pun kita berada, hendaklah selalu terlibat dialog, entah dengan diri sendiri, dengan alam, dengan teman, atau dengan kehidupan. Yang pasti, seorang beriman selalu berdialog dengan Tuhannya.

Empat Domain Keberagamaan

Dalam konteks sosial, ekspresi keberagamaan seseorang setidaknya muncul dalam empat domain atau wilayah. Pertama, wilayah pribadi. Pada wilayah ini, seseorang memiliki kebebasan utuh untuk menyatakan pendapat, pilihan dan keyakinan agamanya.

Pada wilayah individu, kita tidak tahu hakikat keyakinan seseorang. Hanya Allah yang paling tahu dan yang akan menjadi hakim. Setiap pribadi memiliki kebebasan agama tanpa ada batasan dari mana pun, baik organisasi maupun institusi negara. Kita tidak bisa memaksa keyakinan agama seseorang. Sekadar  contoh sederhana, sesungguhnya kita tidak tahu, apakah seseorang menjalankan ibadah puasa atau shalat, karena bisa saja ia bersikap pura-pura di depan umum. Itu merupakan hubungan antara seseorang dengan Allah Swt.

Kedua, ekspresi keberagamaan pada wilayah komunal, misalnya dalam kehidupan keluarga, masyarakat atau jamaah.  Pada wilayah ini, seseorang dituntut dan dipe­ngaruhi lingkungannya untuk pandai-pandai menyesuaikan diri dan mengikuti pendapat umum. Kalau tidak, ia akan terkucil atau dianggap menyimpang. Oleh karena itu, dalam suatu forum jamaah, ada saja orang yang enggan menyampaikan pendapat yang diyakininya semata-mata untuk menghindari perdebatan.

Namun, ada pula lingkungan sosial yang mulai ter­latih menghargai perbedaan, mengingat dalam Islam bermunculan banyak mazhab, baik dalam bidang ilmu fikih, ilmu kalam, tasawuf, maupun pemikiran politik. Semua itu dimungkinkan karena tingkat ilmu keislaman seseorang berbeda-beda, begitupun pengalaman hidupnya.
 
Ketiga, agama yang diekspresikan pada wilayah publik. Di sini sering muncul kesalahpahaman dan menimbulkan konflik. Sebagai warga negara, wilayah publik diatur oleh aturan negara, misalnya aturan lalu-lintas di jalan raya atau kegiatan umum.

Ketika ada kegiatan keagamaan yang mengganggu lalu-lintas, misalnya, maka sesungguhnya wilayah agama telah memasuki wilayah publik. Di sini, polisi yang lebih berhak dan berkewajiban mengaturnya. Problem yang sering muncul, polisi tidak tampil menyelesaikan masalah, sementara ormas lalu menguasasi wilayah publik. Pada konteks ruang publik inilah pemeluk agama harus bisa membedakan hak privat dan hak komunalnya, mengingat semua warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan negara.

Kalau ada satu pihak yang melanggar aturan, maka di situ yang berbicara adalah hukum positif, dan hukum positif tidak berarti melawan hukum agama.
Sebagai contoh, kalau seseorang dari sebuah komunitas keagamaan melanggar aturan lalu-lintas, maka urusannya bukan dengan aturan agama, melainkan dengan undang-undang lalu lintas dari hukum positif.

Keempat, ekspresi dan peran agama dalam ranah negara. Agama dan negara saling membutuhkan, namun pola hubungannya mesti diatur dengan benar agar tidak saling mengganggu dan berebut kekuasaan. Negara (dalam hal ini pemerintah) punya tugas dan otoritas untuk melindungi warganya, dan agama juga berperan membimbing umatnya. Identitas dan loyalitas terhadap agama dan negara sebaiknya jangan bentrok. Apa pun agama yang kita anut, kita adalah warga negara Indonesia yang berkewajiban menjaga rumah besar Indonesia tempat kita semua lahir, tumbuh dan hidup bermasyarakat.

Di depan negara dan pemerintah, semua warga negara memiliki posisi yang sama. Jadi, kalau ada orang yang melakukan korupsi dan tindak pidana lainnya, ia mesti diperlakukan sama, apa pun agama, parpol, ormas dan etnisnya.

Mengkaji Muamalah

Dengan pertimbangan perbedaan domain agama di atas, sekarang kita membicarakan buku  “Fikih Interaktif” karya Gus Yusuf (K.H. Muhammad Yusuf Chudlori)—yang di dalamnya membahas masalah agama (Islam) pada level kedua, ketiga bahkan memasuki pembahasan wilayah keempat. Fikih interaktif berisi tiga bagian utama, yaitu urusan “jual-beli”, “kerjasama”, termasuk masalah makanan, dan masalah-masalah muamalah lain yang terpencar dalam bagian Syatta.

Masyarakat Indonesia yang sedemikian besar dan majemuk sesungguhnya memerlukan ijtihad untuk melahirkan fikih baru yang cocok dan diperlukan masyarakat yang tumbuh dinamis.  Di kawasan Magelang, Temanggung, Purworejo, Salatiga dan sekitarnya, nama Gus Yusuf dikenal sebagai ulama muda. Ia pelayan masyarakat, aktif bergiat dalam urusan sosial-politik dan kebudayaan. Bergaul dalam ruang lingkup yang luas itulah yang membuat jalan pemikiran Gus Yusuf membumi dan selaras dengan kebutuhan masyarakat. Jadi, buku ini, menurut saya, bukan dalam rangka dakwah secara top-down di mana seorang kiai memberi fatwa atau instruksi tentang halal-haram, melainkan sebagai sebuah proses dialogis antara umat dengan seorang kiai.

Buku ini sangat pas untuk para penganut ajaran ahlusunnah wal-jamaah yang nota-bene dipeluk mayo­ritas umat Islam Indonesia. Pada sisi lain, kita akan mendapatkan nilai manfaat yang sifatnya terapan sekaligus  memberikan nilai kebaikan karena muatan di dalamnya merupakan pengetahuan hukum Islam yang menekankan dimensi kemanusiaan. Metode dialog sangat tepat untuk menemukan kebenaran dan jawaban yang tepat tanpa berpretensi menggurui dan memaksakan pendapat. Al-Quran juga merekam metode dialog yang dilakukan Nabi Ibrahim dalam  membimbing umatnya yang dilakukan dengan cerdas.

Selamat membaca! Kita tunggu karya-karya Gus Yus berikutnya.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor Universitas Negeri Jakarta)
Dalam buku "Fikih Interaktif" Penerbit Buku Nuansa Cendekia

0 komentar:

Posting Komentar