Jumat, 21 November 2014

Dewi Lestari: Editor Adalah Penangkal Kejenuhan Para Penulis

Banyak orang beranggapan bahwa saya adalah penulis yang tidak suka diedit. Sebetulnya itu opini yang keliru. Saya amat, sangat, suka diedit. Semakin teliti dan semakin banyak ke­lemahan yang ditunjukkan, saya semakin puas. Karena itu ber­arti saya berkesempatan belajar lebih banyak, dan itu juga berarti editor saya men­jalankan tugas­nya dengan baik. 

Editor adalah orang pertama yang kita beri kepercayaan untuk melihat manuskrip kita dari sudut pandang segar. Jika kita sudah terlalu dekat (dan jenuh) dengan tulisan kita sendiri, maka editorlah yang menjadi penangkal kedekatan dan kejenuhan itu. 

Dengan kemampuan mereka, akan bermunculanlah berbagai kesalahan, ketidaktepatan, dan “bopeng-bopeng” lain yang sudah tak bisa dilihat oleh para penulis dari karya yang (tadinya) sudah dianggap sempurna itu. Editor dan pengalaman diedit, jika dilakukan secara benar dan berkualitas, adalah pembelajaran yang sangat berharga bagi penulis. 

Bagi pembaca buku saya yang ekstra teliti hingga mem­baca lembar keterangan cetak baris demi baris, pasti tak asing dengan nama Hermawan Aksan. Nama beliau tercantum sebagai editor tak hanya satu kali di buku saya, melainkan berkali-kali. Walaupun tidak ada ikatan kontrak eksklusif antara saya dan Hermawan, bisa dibilang beliau adalah bagian dari tim “tak-tetap-tapi-nyatanya-hampir-selalu-tetap” dari produksi buku-buku saya, sebagaimana desainer sampul maupun penata isi buku langganan saya yang orangnya itu-itu lagi dari judul ke judul. 

Tentu saja bukan tanpa alasan. Mereka adalah orang yang saya anggap sudah “mengerti” diri saya sebagai penulis, baik secara kreatif maupun teknis. Mereka juga orang-orang yang sangat kompeten dalam bidangnya. Dari mereka, saya pun banyak belajar tentang berbagai macam aspek produksi buku.

Hermawan Aksan memiliki kapabilitas dan posisi yang unik karena beliau aktif sebagai editor sekaligus penulis, bahkan tipe produktif. Dengan kemampuan gandanya, saya tak heran jika buku semacam ini lahir dari tangan Hermawan Aksan. Jika penulis bekerja berdasarkan prinsip kebebasan—bebas berimajinasi, berfantasi, dsb—maka seorang editor bekerja dalam jalur serta pakem yang lebih pasti dan baku. Meski terdengar bertentangan, menurut saya justru penguasaan kedua hal itu adalah skill yang sangat menguntungkan.

Saya terjun ke dalam dunia menulis dengan latar belakang otodidak. Otodidak di sini artinya antara lain: saya tidak punya portofolio penulisan sebelum buku pertama saya (tidak diketahui pernah menang lomba, karyanya tidak pernah diketahui dimuat di media massa), saya tidak datang dari pendidikan formal sastra (titelnya Sarjana Ilmu Politik), saya tidak besar di komunitas sastra (bukan penongkrong acara-acara pembacaan puisi, tidak terdaftar di komunitas budaya apa pun). 

Saya menjadi penulis semata-mata karena kecintaan saya pada menulis dan kenekatan saya untuk mewujudkannya dalam buku. Karena itulah, saya cenderung gagap jika ditanya teori tentang menulis. Dan yang paling gelap adalah jika ditanya: “Apa rahasia membuat buku best-seller?”

Banyak buku beredar di luar sana mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan (yang bagi saya) misterius tadi. Namun, jujur, kebanyakan tidak terlalu memuaskan. Berdasarkan pengalaman saya berkecimpung dalam dunia kepenulisan selama sepuluh tahun terakhir, saya percaya apa yang menjadikan sebuah buku laris dan apa yang membuat imajinasi seorang penulis memikat dan membius pembacanya adalah sesuatu yang tidak bisa dijabarkan secara pasti dan baku hukumnya. Kita bisa saja berspekulasi. Namun yang terpenting dari menulis adalah keberanian menulis itu sendiri. Termasuk di dalamnya, keberanian untuk menghadapi kegagalan sekaligus me­nangani keberhasilan. 

Kendati demikian, sama seperti Hermawan, saya pun percaya bahwa proses menulis bisa terakselerasi dengan adanya panduan, insight, semacam “aturan main” dasar yang sekiranya akan memudahkan seseorang ketika mulai serius menulis. Bahkan, suka duka seorang penulis pun bisa banyak mencerahkan, karena bagaimanapun ada tantangan serupa (tapi tak sama) yang dihadapi semua penulis saat memulai proses kreatifnya. 

Buku Hermawan Aksan ini amat bisa membantu. Berbekal pengalamannya sebagai editor, penulis fiksi, penulis nonfiksi, penulis untuk media massa, bahkan menulis dalam Bahasa Sunda, memberikannya warna pengetahuan yang kaya. Di mana pun tahap Anda saat ini dalam menulis—profesional, amatir, amatir menuju profesional, atau sekadar hanya ingin tahu—buku ini akan memberikan banyak gambaran, masukan, sekaligus pengalaman riil yang bermanfaat. 

Tak terhitung seringnya saya ditanya trik dan tips dalam menulis. Namun, karena keterbatasan waktu dan keterbatasan media (kalau ditanya lewat Twitter yang cuma bisa muat 140 karakter, bagaimana mungkin saya menjabarkan jawaban dari pertanyaan “Gimana sih caranya mulai nulis?”), tidak semua bisa saya respons. 

Namun, kini saya punya cara praktis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yakni: “Bacalah buku Proses Kreatif Menulis Cerpen-nya Hermawan Aksan.”

Saya menyukai buku ini bukan karena Hermawan Aksan sering menjadi editor saya, melainkan buku ini ber­usaha menjawab hal-hal dasar dalam menulis tanpa janji berlebih. Realistis dan tidak muluk-muluk. Ditulis secara rapi dan lugas. Bagi saya, itu sudah lebih dari cukup.

Barangkali tidak semua pertanyaan Anda (juga saya) tentang kepenulisan akan terjawab oleh buku ini, tapi saya rasa buku ini pun tidak akan mengecewakan Anda. Lagi pula, menulis hanya bisa kita selami lewat mengalami. Jadikan buku ini sebagai persingga
han, perenungan, stimulus sejenak bagi hati dan otak, setelah itu, tutuplah dan mulailah menulis.

Dewi Lestari, dalam buku "Proses Kreatif Menulis Cerpen" Oleh: Hermawan Aksan - Penerbit Buku Nuansa Cendekia


0 komentar:

Posting Komentar