Kamis, 13 November 2014

Bantuan Hukum untuk Orang Miskin

Lord Chancellor belum lama ini telah menunjuk sebuah komite di bawah kepemimpinan Lord Rushcliffe “untuk memeriksa fasilitas-fasilitas saat ini dalam hal pemberian nasihat hukum dan bantuan kepada orang miskin”, dan membuat rekomendasi untuk “menjamin bahwa orang miskin yang membutuhkan nasihat hukum bisa mendapatkan fasilitas seperti itu sekaligus”. Tidak mungkin jika komite ini sudah mengeluarkan laporannya sebelum buku ini diterbitkan, tetapi kalaupun sudah, pekerjaan Mr. Egerton tidak akan kehilangan nilainya karena dia telah memasukkan banyak sekali informasi bermanfaat, berdasarkan pengalaman pribadinya, yang tentunya tidak dapat ditemukan di laporan resmi.

Dia telah melacak secara cermat sejarah panjang dan terpetak-petak mengenai sejarah bantuan hukum di Inggris, dia telah menjelaskan berbagai sistem yang diterapkan di negara-negara lain, dan dia telah menganalisis sistemnya, atau yang lebih akurat, kekurangan sistem di negara ini. Tidak ada yang lebih berkualitas dibanding Mr. Egerton untuk memberikan gambaran keadaan yang akurat tentang kondisi saat ini, mengingat pengalamannya sebagai Panitera di Pusat Nasihat Hukum Gratis Cambridge House (Trinity Hall), yang menangani 4.367 kasus baru di tahun 1943.

Meskipun sebagian besar kasus tersebut berhubungan dengan perkawinan dan sengketa antara pemilik tanah dan penyewa di mana klaim uang sangat jarang terjadi, Pusat itu mampu mengganti lebih dari £5.000 untuk para pemohon. Jumlah ini mungkin tidak terlalu besar, tetapi ketika kita menerjemahkannya dalam konteks kemanusiaan dan menyadari bahwa lebih dari 4.000 orang miskin memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan kasus mereka, kita bisa mengerti betapa pentingnya pekerjaan ini.

Selama bertahun-tahun, pekerja sosial telah menegaskan penting­nya menyediakan bantuan hukum untuk orang miskin, tetapi diperlukan perang besar untuk menanamkan pelajaran ini ke benak pihak yang berwenang. Diharapkan bahwa buku dari Mr. Egerton akan mengajarkan pelajaran ini kepada masyarakat umum yang masih belum mengetahui fakta-fakta ini. Angkatan Bersenjatalah yang pertama-tama menyadari bahwa perlu adanya nasihat hukum gratis bagi tentara agar semangat juang mereka tidak berpengaruh. Sebagai hasilnya, Kantor Perang pada bulan Juli 1942 mengeluarkan rancangan Biro Nasihat Hukum, dengan staf para konsultan hukum serta pembela sukarela yang bekerja paruh waktu, dan rancangan Seksi Komando Bantuan Hukum dengan karyawan penuh waktu.

Pada bulan November 1942, RAF bergabung dalam program ini, dan pada bulan Juli 1943, Departemen Angkatan Laut Inggris mengambil langkah yang sama bagi Angkatan Laut. Akan tetapi, nasihat hukum sendiri tidak cukup; diperlukan juga penyediaan bantuan hukum untuk menangani proses pengadilan, terutama dalam kasus-kasus perkawinan. Karena itu, pada tahun 1942, Perhimpunan Hukum membentuk sebuah departemen dengan karyawan yang digaji untuk menangani kasus-kasus perceraian bagi orang-orang miskin. Di awal tahun 1944, departemen ini mempekerjakan 5 konsultan hukum dan 60 staf serta memasukkan divisi yang menangani kasus-kasus sipil orang miskin.

Tidak hanya di Pelayanan saja nasihat hukum dibutuhkan; beberapa Biro Penyuluhan Masyarakat, yang dibentuk untuk membantu warga sipil dengan kesulitan-kesulitan mereka selama masa perang, juga kebanjiran pertanyaan terkait masalah hukum. Sulit untuk menangani masalah ini hanya dengan petugas sukarela karena jumlah pekerjaan lebih dari yang bisa ditangani sepanjang waktu luang, sehingga dua Pusat Nasihat Hukum dengan petugas yang digaji didirikan di London. Nyaris tidak dapat dibayangkan bahwa kantor-kantor ini akan ditutup selepas perang, karena mereka telah menunjukkan betapa pentingnya pelayanan ini bagi orang miskin.

Mengapa kita harus menunggu hingga perang sebelum me­ngetahui betapa serius masalah ini? Kesalahan besar dalam masalah ini ada pada profesi hukum, dan bukan pada alasan yang biasanya dikemukakan lebih dulu. Sering dikatakan bahwa profesi hukum harus lebih siap untuk memberikan pelayanan sukarela kepada orang miskin, dan dalam hal ini profesi tersebut bisa dibandingkan dengan profesi medis. Mr. Egerton telah menyediakan jawaban lengkap untuk hal ini dengan menunjukkan bahwa masalah tersebut terlalu besar untuk diatasi dengan bantuan sukarela. Sistem yang dibentuk di bawah Undang-undang Orang Miskin pada tahun 1926 telah hancur karena meningkatnya jumlah permohonan, terutama sejak Matrimonial Causes Act, Undang-undang Perkara Pernikahan, 1937, diterapkan. Pada tahun 1939 terdapat 10.556 permohonan yang 5.760 di antaranya dikabulkan. Pada tahun 1937, 47 persen dari semua perkara diperiksa di bawah Undang-undang Orang Miskin. Meskipun setiap kasus mewakili sumbangan minimal £20 dari konsultan hukum yang bertugas, tidak dapat dikatakan bahwa profesi hukum telah terbukti tidak dermawan.

Mengharapkan konsultan hukum memberikan bantuan hukum sukarela dalam semua kasus sama saja dengan mengharapkan dokter untuk menangani pasien tanpa bayaran. Karena anak-anak miskin membutuhkan susu bukanlah dasar untuk mengatakan bahwa kebutuhan mereka harus dipasok oleh perusahaan susu; itu adalah biaya yang harus dipikul oleh masyarakat secara keseluruhan.

Profesi hukum terbuka untuk kritik, bukan karena tidak baik, tetapi karena profesi ini telah menutup matanya untuk masalah yang seharusnya sudah diakui keberadaannya. Pengulangan dari waktu ke waktu tentang lelucon “Pengadilan itu, seperti Hotel Ritz, terbuka bagi orang kaya dan orang miskin” menunjukkan bahwa beberapa anggotanya menyadari adanya masalah, tetapi hanya sedikit yang diselesaikan. Bahkan sekarang, seperti dikatakan Mr. Egerton,
masih banyak kuasa hukum yang menyangkal perlunya reformasi dan mungkin ada yang menanyakan mengapa konsultan hukum dan pembela, yang seharusnya menjadi pihak-pihak pertama yang mendesakkan perlunya bantuan profesional dan yang menunjukkan kepedulian mereka terus-menerus terhadap peningkatan jumlah pengadilan administratif di mana tidak dipebolehkan adanya per­wakilan, menentang gagasan perwakilan bagi orang miskin.

Tiga alasan bagi perlawanan ini bisa dikemukakan. Yang pertama, bahwa profesi hukum masih berpikir dalam pemahaman bantuan hukum sukarela, dan hal ini berarti bahwa peningkatan dalam bantuan tersebut akan menjadi beban yang tidak dapat ditoleransi, terutama oleh konsultan hukum yang telah membuktikan diri mereka sebagai pihak yang paling banyak berkorban.

Jawaban bagi keberatan ini adalah tidak ada yang pernah meneliti masalah ini percaya bahwa pelayanan sukarela merupakan dasar yang baik untuk mendapatkan bantuan hukum. Alasan kedua bagi perlawanan profesi itu adalah ketakutan jika kontrol negara akan diperkenalkan maka biaya untuk bantuan hukum dibebankan pada dana masyarakat. Bantuan hukum, katanya, akan menjadi birokratis.

Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum birokratis tentu saja lebih baik daripada tidak ada bantuan hukum sama sekali, tetapi seperti yang telah ditunjukkan Mr. Egerton dalam bab-bab terakhir buku ini, bahaya birokrasi dapat mudah dihindari dengan membentuk badan independen, yang terdiri dari para pembela, konsultan hukum, dan pekerja sosial, untuk mengelola sistem itu. Keberatan yang ketiga adalah ketakutan jika peningkatan bantuan hukum akan berakibat pada meningkatnya proses pengadilan. Ini mungkin benar, namun tampaknya aneh bahwa para kuasa hukum, dari semua profesi lainnya, mau menerima pandangan bahwa peradilan selalu identik dengan keburukan.

Tidak adakah yang lebih benar daripada pernyataan Dean Pound bahwa “berbahaya jika dalam usaha untuk mencegah proses peradilan kita justru mendorong kesalahan”? Jika seseorang memiliki tuntutan yang benar terhadap yang lain, bukankah hal tersebut masuk dalam kepentingan umum jika dia bisa mengajukannya di pengadilan? Komite Finlay dalam laporannya yang diterbitkan pada tahun 1928 menolak gagasan bahwa bantuan hukum dapat disamakan dengan bantuan medis dalam kata-kata ini: “Jelas merupakan kepentingan negara bahwa warga negara harus sehat, bukan bahwa mereka harus berpekara.” Tetapi apakah orang miskin yang meminta keadilan di pengadilan dapat disebut “berpekara”? Tidakkah lebih tepat untuk mengatakan bahwa merupakan kepentingan negara bahwa setiap warga negara, entah kaya atau miskin, tidak dihalangi untuk mendapatkan keadilan yang dideskripsikan Aristoteles sebagai unsur sangat penting dari “kehidupan yang baik”?

Dalam buku ini, Mr. Egerton telah menunjukkan betapa tidak memadainya bantuan hukum saat ini. Hasilnya adalah semacam tambal sulam tidak karuan dari aneka gagasan dan metode yang berbeda-beda. Ada satu sistem untuk undang-undang kriminal dan yang lain untuk undang-undang sipil. Ada satu sistem untuk nasihaat dan sistem lain untuk peradilan. Yang paling aneh di antara semuanya adalah adanya sistem bantuan hukum di Pengadilan Tinggi tetapi tidak ada di Pengadilan Wilayah, di mana mayoritas kasus yang berhubungan dengan orang miskin akan langsung didengar, tidak juga dalam kasus-kasus sipil yang diajukan pada hakim. Sehingga penuntut miskin, jika beruntung, bisa mendapatkan bantuan hukum dalam petisi perceraian, tetapi dia tetap tidak terwakili dalam pemeriksaan perkara perpisahan dan biaya hidup, meskipun hal ini, dari sudut pandang hukum, mungkin jauh lebih sulit daripada kasus perceraian yang tidak mendapatkan pembelaan.

Untuk beragam masalah ini, Mr. Egerton menyarankan kepada setidaknya satu orang pembaca apa yang disebutnya sebagai jawaban rasional dan bisa diterapkan. Meskipun rekomendasinya tidak diterima secara penuh oleh Komite Rushcliffe, pendapatnya perlu dikaji lebih dalam oleh semua orang yang tertarik pada salah satu masalah paling serius dalam kehidupan sosial kita.[]

A.L. Goodhart, dalam buku "Legal Aid; Bantuan Hukum untuk Orang Miskin" Penerbit Buku Nuansa Cendekia


0 komentar:

Posting Komentar