Apa yang kita temukan dalam kehidupan dunia ini merupakan bukti akan kehadiran Allah Swt. Manusia seyogyanya bisa mengambil i‘tibâr (pelajaran) sebagai modal untuk menapaki perjalanan tanpa ujung, akhirat. Tak jarang kita temukan hal-hal yang remeh menurut akal, padahal justru merupakan rangk aian besar skenario kehidupan.
Nyamuk yang kecil, sampai saat ini, belum ada ilmuwan yang mampu membuat selembar sayapnya sekalipun. Belum lagi fenomena ruh dan hati (qalb) manusia yang belum terkuak dengan sempurna, dan bahkan sesuatu yang paling dekat dengan kehidupan kita, yaitu misteri keberpasangan yang unik dan menakjubkan—bagian utama yang akan dibahas dalam buku ini, insya Allah—semestinya menjadi bahan tafakkur dan muhâsabah agar kehidupan menjadi lebih bermakna.
Dalam kehidupan yang kita jalani ini, terlihat jelas adanya keberpasangan: senang-susah, malam-siang pagi-sore, jantan-betina, dan sebagainya baik yang tampak jelas di pelupuk mata maupun yang harus menggunakan alat bantu untuk bisa melihatnya. Dalam listrik, misalnya, pun ada keberpasangan: ada arus positif dan ada juga arus negatif, pada magnet: ada kutub negatif ada kutub positif, dan juga pada bumi tempat yang kita pijak: ada kutub utara dan kutub selatan. Hanya Allah Swt yang tidak memiliki pasangan dan tidak ada pula yang serupa dengan-Nya.
Dengan keberpasangan itu, lahirlah sebuah bentuk kerjasama, dan karena ada kerjasama, hidup menjadi harmonis. Segala yang ada di muka bumi ini memiliki kelebihan, di satu sisi, dan juga kekurangan, di sisi lain. Maka dengan berpasangan, kelebihan yang satu bisa dipadukan dengan kelebihan yang lain sehingga dihasilkan kesempurnaan.
Setangkai bunga, misalnya, memiliki kelebihan dan sekaligus kekurangan. Kelebihannya adalah bunga yang indah, sedangkan kekurangannya adalah ketidakmampuannya dalam melakukan penyerbukan sendiri untuk menghasilkan buah. Maka bunga itu menggunakan kelebihannya berupa bunga yang indah untuk mengundang kumbang yang akan membantu penyerbukannya. Demikianlah naluri alamiah yang dianugerahkan Allah padanya. Namun, tidak ada naluri yang lebih kuat daripada ketertarikan antara dua lawan jenis, pria dan wanita, jantan dan betina, positif dan negatif. Allah Swt berfirman:
Mahasuci Dia yang telah menciptakan semua pasangan, baik yang tumbuh di bumi, dari jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang mereka tidak ketahui. (Qs Yâ Sîn: 36)
Manusia dalam keberpasangannya berbeda dengan binatang. Pada binatang, umumnya ada waktu-waktu tertentu untuk melakukan perkawinan. Beberapa jenis binatang tidak melakukan perkwanian setelah betinanya mengandung atau hanya melakukannya pada musim tertentu, berbeda dengan manusia. Karena itu, rasanya kita berbuat “zalim” kepada binatang ketika memaki orang yang senang mengumbar nafsunya tanpa mengenal norma dan etika dengan mengatakan “seperti binatang”. Padahal, binatang sendiri sebagian besar justru lebih mengenal “etika” dan batasan tertentu.
Keberpasangan diawali dari aksi satu pihak yang disambut reaksi penerimaan oleh pihak lain, yakni ada yang mempengaruhi dan ada yang dipengaruhi, dan selanjutnya saling mempengaruhi. Atas dasar inilah hukum keberpasangan berjalan, dan atas dasar ini pula alam raya diatur oleh Allah. Jika kita mengakui bahwa keberpasangan merupakan ketetapan Ilahi yang berlaku umum—dan memang harus diakui karena fakta membuktikannya—maka harus diakui pula bahwa ia bukanlah sesuatu yang kotor atau najis, tetapi bersih, suci dan terhormat. Itulah salah satu alasan mengapa ayat 36 surah Yâ Sîn yang dikutip di atas dimulai dengan kata subhâna (mahasuci). Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya noda pada hubungan antara laki-laki dan perempuan, termasuk dalam hubungan seksual antara suami-istri, dan setiap noda yang mungkin muncul harus segera dihindari. Dengan kata lain, hubungan laki-laki dan perempuan harus dilandasi kebersihan dan kesucian.
Selanjutnya, jika kita mengakui aksi-reaksi atau mempengaruhi-dipengaruhi merupakan kodrat segala sesuatu, maka harus diakui pula bahwa tidak ada keistimewaan bagi yang beraksi dari segi fungsinya sebagai pelaku dan tidak juga ada kekurangan bagi yang bereaksi sebagai penerima, walau harus diakui bahwa yang beraksi lebih kuat daripada yang bereaksi. Seandainya jarum tidak lebih kuat daripada kain atau cangkul tidak lebih kuat daripada tanah maka tidak akan ada jahit-menjahit atau penggarapan lahan pertanian. Oleh karena itu, jantan atau laki-laki selalu mengesankan kekuatan dan keperkasaan, sementara betina atau perempuan selalu mengesankan kelembutan dan penerimaan. Namun, patut diingat bahwa kekuatan atau kelemah-lembutan di sini sama sekali tidak menunjukkan superioritas satu pihak atas pihak yang lain, tetapi karena masing-masing memiliki kelebihan dan keistimewaan untuk dipadukan sehingga menghasilkan kesempurnaan dalam mencapai tujuan bersama.
Bagi manusia, mendambakan pasangan merupakan fitrah dan kadang menjadi dorongan yang sulit dibendung. Sebaliknya, kesendirian—lebih tragis lagi, keterasingan—dapat mendatangkan penderitaan karena manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang membawa sifat saling ketergantungan satu sama lain.
Memang, sesekali manusia merasa senang dalam kesendiriannya, tetapi tidak untuk selamanya. Kita telah menyadari bahwa hubungan alami dan kedekatan dengan pihak lain bisa mendatangkan ketenangan dan kekuatan sehingga membuat kita mampu menghadapi rintangan. Karena alasan-alasan inilah, kita perlu menikah, berkeluarga, bahkan bermasyarakat dan berbangsa. Tetapi harus diingat bahwa keberpasangan manusia bukan hanya karena dorongan naluri seksual. Lebih daripada itu, ia adalah dorongan fitrah insani dan kebutuhan jiwa untuk meraih ketenangan.
Ketenangan itu umumnya dirindukan oleh salah satu pasangan ketika keduanya saling terpisah dalam waktu yang lama. Entah apa yang terjadi dalam detak jantung seorang perempuan dan seorang laki-laki yang berpasangan secara sah sehingga keduanya mau—menurut istilah Al-Quran, an-Nisa’: 21—afdhâ ba‘dhukum ilâ ba‘dh yakni bergaul seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya satu sama lain. Pergaulan itu tidak terbatas pada hubungan jasmaniah, tetapi juga hubungan ruhaniah: emosi dan perasaan.
Pergaulan yang dimaksudkan ayat tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan bersama suami-istri sepanjang hari sejak ijab-qabul dalam pernikahan hingga menjadi kakek-nenek: melalui tatapan, pandangan, sentuhan badan; dalam kebersamaan saat susah dan senang, kecemasan dan harapan; dalam menata masa depan, dan sebagainya. Semuanya tercakup dalam kata afdhâ yang bermakna sangat luas itu. Jika konsep ini dipahami dan dihayati oleh, serta merasuki jiwa, pasangan suami-istri, niscaya kebersamaan mereka akan langgeng sekuat apa pun badai prahara menerjang mereka.
Apa yang mendorong laki-laki dan perempuan mau menjalani hidup bersama melalui pernikahan dan membina rumah tangga, meninggalkan keluarga masing-masing yang telah membesarkan mereka? Padahal, mungkin saja di tengah keluarga masing-masing, mereka hidup senang dan segala kebutuhan materi terpenuhi. Itu karena masing-masing dari laki-laki dan perempuan, dengan bertambahnya usia, bertambah pula kebutuhan mereka, terutama kebutuhan ruhaniah. Sebagian besar kebutuhan tersebut tidak bisa terpenuhi dari orangtua dan keluarga, karena semakin dewasa, hubungan mereka dengan orangtua dan anggota keluarga yang lain semakin terbatas, terutama dalam masalah-masalah pribadi. Selain itu, semakin dewasa, mereka dilatih dan diharuskan untuk hidup mandiri sehingga, dalam batas-batas tertentu, tidak lagi bergantung kepada keluarga mereka.
Agar bisa memenuhi kebutuhan masing-masing, laki-laki dan perempuan mau menjalani kehidupan bersama yang dilandasi saling cinta, walau mungkin harus menghadapi nuansa yang berbeda dengan kehidupan di tengah keluarga besar mereka. Apa pun yang mereka hadapi dalam kebersamaan itu, mereka akan merasa bahagia.
Tentu, ini semua tidak bisa lepas dari kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan kita, yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Dia berfirman:
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat. (Qs adz-Dzâriyât: 49)
Jadi, keberpasangan merupakan ketetapan yang dibuat oleh Allah Swt untuk seluruh makluk-Nya. Namun, harus diingat bahwa keberpasangan itu dilandasi oleh kebersihan dan kesucian. Dengan demikian, keberpasangan dan kebersamaan laki-laki dan perempuan untuk membina rumah tangga pun harus dilandasi kebersihan dan kesucian yang diatur dalam syariat agama kita melalui pernikahan.
Dalam buku "Baiti Jannati" Penerbit Buku Nuansa Cendekia
0 komentar:
Posting Komentar