Buku “Puisi dan Bulu Kuduk” ini berisi sekumpulan tulisan penyair Acep Zamzam Noor tentang kepenyairannya, tentang makna puisi, tentang teman-teman seangkatannya, yang pada dasarnya merupakan kesaksian otentik Acep terhadap hubungan diri dan zamannya. Seorang penyair yang “berumah dan beranak pinak dalam timbunan sajak”, seperti diungkapka Chairil Anwar, akhirnya akan tiba pada pertanyaan mendasar: puisi ini sebenarnya apa?
Dalam tulisan “Puisi dan Bulu Kuduk” (yang dijadikan judul bukunya ini) Acep Zamzam Noor mencoba mendefinisikan puisi itu apa? Begitu pula dalam beberapa tulisannya yang lain dia ada menyinggung persoalan yang amat esensial bagi orang yang memilih hidup sebagai penyair. Dan jawabannya tentulah spekulatif karena pertanyaan itu sebenarnya pertanyaan filosofis. Semua itu tergantung dari pengalaman hidup kepenyairannya dan sistem pengetahuan yang diperolehnya.
Tetapi Acep telah memulainya di jalan yang benar, yakni sejak awal telah mempertanyakan puisi itu apa. Modalnya hanya bertanya. Hidup itu pertanyaan. Dan karena hidup ini pertanyaan, dan bukan jawaban, maka kegelisahan Acep bertebaran di berbagai puisi yang ditulisnya. Sedangkan jawaban-jawaban yang dicoba dituturkan dalam tulisan-tulisannya ini sebenarnya “terpaksa” dia lakukan karena ada pihak yang memintanya. Dan jawaban-jawaban ini mungkin sekali akan berubah di kelak kemudian hari karena kerja berpuisi dan berkesenian apa pun merupakan kerja bertanya, jawaban yang menimbulkan pertanyaan berikutnya, dan seterusnya sampai kita tidak berada di dunia ini dan mungkin tak diperlukan pertanyaan lagi.
Pertanyaan itu adalah tentang makna. Untuk apa hidup ini? Mengapa aku dilahirkan di sini? Mengapa ada puisi? Mengapa puisi begitu dahsyat dapat membuat pembacanya ekstase? Bulu kuduk berdiri seperti tiba-tiba melihat hantu di seberang meja tulisnya? Mengapa batu seperti itu? Apakah batu punya makna? Tuhan itu sebenarnya apa atau siapa? Kebermaknaan segala sesuatu ditanyakan manusia, ditanyakan Acep Zamzam, karena ingin hidupnya bukan sekadar menjalani hidup ini, tetapi percaya bahwa ada makna di sebalik semua yang dijalani dan dialaminya. Ya, itu semua apa?
Saya akan meminjam kearifan lokal Sunda untuk menjawab pertanyaan dengan sejuta jawabannya ini agar kita kira-kira dapat mendudukkan persoalan agak lebih tertata. Seperti dapat disimak dari mitos-mitos metafisika Sunda, Jawa, Minang, dan mungkin ada beberapa lagi, keberadaan ini, atau Ada ini, being ini, ada awalnya. Yang berawal ini (dan tak tahu kapan berakhir) nyatanya didahului oleh yang “tak berawal” yang di Sunda disebut awang-awang uwung-uwung, di Jawa disebut awang uwung suwung, dan di Minang sisebut awang gumawang (Tambo Minangkabau). Oleh beberapa penafsir modern sering disebut Kosong, yang memang dapat menimbulkan berbagai bantahan. Apalagi kalau disebut Tiada atau Tidak Ada.
Di Sunda modern disebut euweuh dan teu aya. Mereka yang belajar filsafat Barat tentu akan tersenyum sinis membaca istilah-istilah ini, kecuali beberapa filosof Barat yang tersisih seperti Plotinus, Spinoza, Whitehead.
Bagaimana nalar suwung itu menjadi Ada yang kita kenal ini. Suwung dalam bahasa Jawa bisa dikatakan pada saat rumah sedang ditinggalkan penghuninya. Ketika saya berkunjung ke rumah Acep Zamzam Noor, rumahnya terkunci, digedor sekeras-kerasnya tetap tidak ada bunyi apa pun. Jadi rumah ini sedang ditinggalkan penghuninya yang mungkin sejam akan kembali atau sore hari akan kembali atau dua hari kemudian akan kembali. Tidak tahu.
Dalam kearifan nenek moyang orang Sunda, dari awang-uwungan itu muncul keluar tiga wujud batara, yakni Batara Keresa (Kehendak), Batara Kawasa (Kekuatan, tenaga, Energi) dan Batara Bima Mahakarana (karana = sebab, penyebab, pikiran). Ketiga batara menyatu menjadi Batara Tunggal, dan dari dialah muncul keberadaan yang kita kenal dan kita pertanyakan ini.
Di Jawa dari suwung tadi muncul suara gentra dan sebentuk telur purba. Telur itu menjelma menjadi tiga realitas, yakni waktu (siang dan malam, atau terang dan gelap), ruang (bumi dan langit), serta pelaku (Batara Manik atau Batara Guru serta Batara Maya atau Batara Semar, Ismaya).
Di Tambo Minangkabau dikisahka adanya awang gumawang. “Tatkala itu awal belum akhir pun belum, bumi dan langit pun belum. Semesta sekalian pun belum. Loh dan kalam pun belum. Arasy dan Kursy pun belum”, begitu kata tambo ini. Lalu terbitlah Cahaya, maka jadilah Nur Muhammad. Dan dari sanalah Ada ini menjadi ada.
Kalau kita perhatikan, ketiga mitologi yang mengandung metafisika dalam filsafat modern kita ini, jelas terlihat esensi ketiganya, yakni adanya Ada ini berasal dari awang uwung melalui wujud ketiga yang keluar muncul begita saja dari yang Tiada tadi. Nalarnya adalah: Tiada – mediasi – Ada. Tiga Batara, manikmaya, Nur Muhammad adalah mediasi dari Tiada, Kosong, menjadi ada yang kita kenal ini.
Dan kunci dari misteri Kosong menjadi Ada adalah ungkapan-ungkapan di dalam mitos-mitos itu sendiri. Dalam mitos Sunda alam Kosong tadi menyebutkan dirinya sama dengan Batara Tunggal, Manikmaya, atau Nur Muhammad. Ucapa Sunda berbunyi: Aku (ada) adalah Dia sebagai aku. Ungkapan Jawa: keadaan-Ku (kosong) adalah keadaanmu, dan keadaanmu adalah keadaan-Ku. Di Minang bunyinya juga mirip: Aku (kosong) dan engkau pun (ada) tiada lain daripada aku (Ana anta wa anta ana).
Jelaslah sudah bahwa pertanyaan “ada ini sesungguhnya apa”?, dijelaskan oleh nenek moyang Indonesia bahwa makna Ada ini bersumber dari Kosong tadi itu, yang tak berawal tak berakhir, yang tak pernah kita dapat memasuki dan dapat kita kenal, sesuatu yang asing dan tak ada padanannya di dunia ini, yang kalau berhasil muncul di dunia (puisi) ini membikin Acep Zamzam Noor bulu kuduknya berdiri. Kaget. Terpesona. Mengejutkan. Ekstase. Bikin mabuk berhari-hari memikirkan sepotong sajak Goenawan Mohamad.
Bukankah mitos-mitos metafisik tadi gambaran manusia juga? Manusia itu pada dasarnya “Ada” dan sekaligus “Tiada”, atau “Isi” dan sekaligus “Kosong”. Puisi “Di beranda ini…” dari Goenawan adalah “isi”, wujud, ada, sehingga kita dapat menangkapnya. Tetapi puisi itu juga bagian dari “kosong”, tidak ada, yang oleh Goenawan, entah bagaimana cara dan prosesnya, menjadi ada. Dan puisi itu mengagetkan, menohok pikiran dan batin kita, membawa kita melayang tak menentu ke alam imajinasi yang tak putus-putus ujung pangkalnya, karena dia sama dengan Kosong tadi itu.
Pada dasarnya setiap penyair dan manusia kreatif berlomba-lomba bergerak mendekati batas Kosong tadi dari dunia Isi kita ini. Mediasinya tak lain adalah wujud-wujud Ada ini sendiri. Jadi prosesnya terbalik dengan mitos metafisika tadi. Kalau orang berhasil “masuk” alam Kosong tadi, maka ia membawanya ke dunia Isi ini dan menuturkannya menurut gaya, teknik, tradisi, yang dia akrabi.
Sekarang coba kita terapkan pada Acep Zamzam Noor sendiri. Kita mengenal Acep sebagai penyair setelah kita membaca seluruh hasil karyanya. Sehabis pembacaan, kita akan berucap, wah begitulah Acep itu. Tetapi benarkah yang Anda kira itu? Apakah Acep memang sama dengan semua puisinya? Dirinya apakah sama dengan karyanya?
Acep itu juga mengandung Kosong tadi itu. Acep itu kemungkinan dan tidak kemungkinan sekaligus seperti kita semua ini. Acep adalah Acep (yang terlihat) sekaligus bukan Acep (kosong). Namun karena kita hanya mampu melihat apa yang “Ada” saja, dan tak lain berdasarkan apa yang terlihat. Tetapi seperti ucapan purba bahwa “Aku pun tiada lain daripada engkau”, maka “isi” itu pun tiada lain daripada “Kosong” yang sulit dirumuskan tadi itu.
Acep, Goenawan, Sapardi, adalah mediasi Kosong dan Isi, Tiada dan Ada, melalui yang Ada itu kita mengenal yang Tidak Ada itu. Dan apa yang Tidak Ada alias awang-uwung alias Kosong itu tak lain adalah puisi mereka. Di balik tiap penyair itu ada Kosong yang sama dan satu, milik semua ciptaan. Masalahnya bagaimana kita dapat mencapai batas keduanya.
Marilah kita dengarkan orang Barat. Ahli matematika Hadamard dan novelis Pearl S. Buck, sama-sama mengatakan, bahwa kebermaknaan adalah soal sistem hubungan. Sesuatu itu bermakna kalau kita dapat membangun sistem hubungan esensial segala sesuatu yang kita ketahui. Sistem hubungan berarti ada berbagai unsur esensial yang membentuk hubungan sebab akibat tertentu sehingga merupakan satu kesatuan bermakna. Konsep ini mirip Batara Tunggal Baduy yang terdiri dari Batara Keresa, Batara Kawasa dan Batara Mahakarana yang menyatu dalam membentuk sistem hubungan tertentu, misalnya keresa (kehendak), perbuatan (kawasa), serta karana (pikiran), tetapi juga bisa hubungan kuasa-kehendak-pikiran.
Mediasi penyair atau manusia kreatif tak lain adalah seni memperoleh sistem hubungan esensial terhadap segala sesuatu yang menjadi cara berpikirnya, untuk terhubungkan dengan alam kosong pada dirinya, sehingga muncul makna yang bikin bulu kuduk berdiri itu.
Penyair, pemikir, metafisikawan, musyid, memiliki cara kerja yang sama dalam memperoleh sesuatu dari kekosongan dirinya itu. Peristiwa ini tidak dapat direncanakan, hanya dapat dicari, ditanyakan, sampai tiba saat aha erlebnis atau eureka yang berbunyi: nah inilah jawabannya! Hal ini juga diungkapkan oleh Acep Zamzam Noor dalam proses kreatifnya. Penyair itu orang yang beruntung, orang yang tercerahkan, orang yang dapat “wangsit” modern, berupa cahaya bohlam dalam balon komik Tintin. Bagaimanapun hasrat Anda sebesar gunung untuk menjadi otentik, kalau Anda tidak punya pertanyaan esensial tentang keberadaan ini, dan tidak kerja keras untuk menemukan jalan ke arah kekosongan diri Anda, maka Anda hanya akan menjadi penyair kerajinan belaka. Puisi bukan soal bentuk dan teknik berpuisi, tetapi menemukan kebenaran puitik yang tak terduga oleh Anda sendiri, sehingga bulu kuduk yang berdiri pertama kali ya hanya Anda sendiri. Inilah yang dikatakan kitab apokrif Mesir abad pertama:
Biarkan dia yang mencari terus tetap mencari
Kalau dia sudah menemukan
Akan dialaminya berbagai kesulitan
Tapi dalam kesulitan itulah
Semua hal akan dibukakan padanya.
Hubungan itu bukan hubungan benda-benda, tetapi hubungan esensi kerja beda. Daun gugur menggambarkan manusia yang mati, adalah hubungan cara kerja esensialnya. Daun itu tanggal dari pohon, nyawa itu tanggal dari badan. Itu sudah amat klise. Tetapi bagaimana Anda bisa melihat hubungan antara kursi dengan janda? Kalau Anda mampu menunjukkan adanya hubungan esensial keduanya, maka bulu kuduk Anda akan berdiri. Dalam bangunan puisi hubungan-hubungan asensial semacam itu rumit karena unsur-unsur yang dipakai bukan hanya dua.
Begitulah “teori Bulu Kuduk” Acep Zamzam Noor ini kalau saya tafsirkan. Sebagai penyair yang penting ia menulis puisi yang membuat bulu kuduknya berdiri, begitu pula bulu kuduk para pembacanya. Teori bulu kuduk itu hanya awal puisi yang otentik, setelah itu Anda akan diperkaya oleh jalinan makna di dalamnya yang semakin rumit pula, namun semuanya merupakan kesatuan kemasukakalan. Penyair tak lain adalah pemikir, karena dia penanya. Tetapi Acep bukanlah seorang pemikir teori, sehingga kewajiban kaum akademisi yang harus menjelaskan teorinya itu! Kerja penyair tak laian adalah berteori melalui puisi-puisinya yang bikin pembacanya ekstase tadi itu.
Acep Zamzam Noor sekarang sudah menjadi orang tua semacam Saini K.M. pada waktu Acep muda remaja. Pengganti Saini ya Acep Zamzam dengan membentuk komunitas sastranya di Tasikmalaya. Sudah waktunya pula Acep seperti Saini K.M. yang sembari menulis puisi mengajar kaum muda memasuki dunia puisi yang “baik dan benar” menurut pandangan kepenyairannya. Generasi Acep belajar dari generasi Saini K.M. yang rata-rata menguasai literatur sastra dunia oleh penguasaan bahasa Inggris mereka. Generasi Saini, Goenawan, Taufik, Sapardi adalah reaksi atas generasi pertama puisi Indonesia, yakni Chairil Anwar dan Amir Hamzah, yang mereka ini sangat menguasai bahasa Belanda. Apakah generasi Pos-Acep ini justru akan kembali pada bahasa dan budaya bahasa mereka?
Estafet puisi Indonesia ini mungkin tidak berlangsung secara linier tetapi secara non-linier, yakni justru kembali pada akar-akar sistem hubungan esensial yang dimiliki oleh kearifan lokal bahasa masing-masing. Kasus Godi Suwarna mungkin dapat menunjukkan gejala itu.
Bagaimana Anda dapat nerumuskan Kosong itu apa, puisi itu apa, hidup itu apa, seni itu apa? Acep Zamzam Noor tidak, saya pun tidak. Puisi itu awang-awang uwung-uwungan.[]
Bandung, 6 Mei 2011
Prof. Jakob Sumardjo, dalam buku "Puisi dan Bulu Kuduk: Perihal Apresiasi dan Proses Kreatif" - Acep Zamzam Noor - Penerbit Buku Nuansa Cendekia
0 komentar:
Posting Komentar