Pada 6-8 September 2000, 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sepakat untuk mengadopsi Millennium Declaration. Deklarasi yang dihasilkan pada forum Millennium Summit ini memuat nilai, prinsip, serta tujuan dari agenda internasional abad ke-21. Melalui deklarasi ini, negara-negara menegaskan komitmen mereka untuk menjadikan equality, solidarity, tolerance, respect for nature, dan shared responsibility sebagai prinsip dan nilai yang menjadi dasar hubungan internasional pada abad ke-21. Tujuan di bidang pembangunan yang ditetapkan dalam Millennium Declaration kemudian dijabarkan ke dalam konsep Millennium Development Goals (MDGs). MDGs mencakup delapan tujuan di bidang pembangunan untuk diwujudkan sebelum tahun 2015, yaitu pemberantasan kemiskinan dan kelaparan; tersedianya pendidikan dasar secara universal; terwujudnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; penurunan angka kematian anak; peningkatan kesehatan ibu; penanggulangan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; pelestarian lingkungan; dan pengembangan kemitraan global untuk pembangunan. Dasar penyusunan MDGs adalah pengakuan terhadap hak setiap individu atas martabat (dignity), kebebasan (freedom), kesetaraan (equality), dan pemenuhan kebutuhan dasar; serta peningkatan toleransi dan solidaritas.
Disepakatinya nilai, prinsip, dan tujuan dari agenda internasional sebagaimana tercantum dalam Millennium Declaration merupakan refleksi dari rangkaian perubahan tata hubungan internasional pasca Perang Dingin. Sejak itulah lahir kesempatan bagi masyarakat internasional untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap isu-isu pembangunan yang sebelumnya kerap disebut sebagai low politics dan dipandang sebagai isu kelas dua. Perubahan di atas juga tidak dapat dilepaskan dari tiga aspek yang menjadi karakteristik hubungan internasional pasca Perang Dingin. Pertama, hubungan internasional menjadi semakin kompleks sejalan dengan bertambahnya jumlah aktor yang terlibat; semakin beragamnya pola interaksi di antara aktor-aktor tersebut; serta bertambahnya aspek dan isu yang menjadi pokok bahasan. Negara tetap menjadi pelaku utama hubungan internasional namun peran aktor non-negara (seperti organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, dan perusahaan multinasional) juga semakin penting. Keamanan yang secara tradisional merupakan isu utama hubungan internasional tetap mendapatkan tempat khusus, namun isu-isu non-keamanan juga dianggap tidak kalah penting. Hubungan internasional juga tidak lagi identik dengan interaksi formal antarnegara sejalan dengan meningkatnya peran organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, dan aktor non-pemerintah lainnya utamanya pada forum diplomasi multilateral.
Kedua, kompleksitas hubungan internasional juga dibarengi dengan meningkatnya interdependence atau kesalingtergantungan di antara aktor-aktor yang terlibat. Konsep interdependence yang dipopulerkan oleh Nye dan Keohane pada 1977 merujuk pada keterkaitan kondisi, kebijakan, dan tindakan antaraktor dalam hubungan internasional. Menguatnya interdependence membuat satu negara tidak dapat lagi hanya menjadikan kepentingan nasional sebagai satu-satunya dasar pengambilan kebijakan. Negara tersebut juga harus mempertimbangkan dampak kebijakan yang diambil terhadap kepentingan negara-negara lain. Selain itu, interdependence juga meningkatkan kesalingterkaitan di antara isu-isu hubungan internasional sehingga tidak ada lagi isu yang dianggap lebih penting dari yang lain.
Ketiga, globalisasi menyebabkan menipisnya ‘batas’ antarnegara serta berkurangnya perbedaan antara isu domestik dan isu global. Konsep intermestic yang dipopulerkan oleh Manning pada 1977 banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Intermestic adalah singkatan dari international and domestic merujuk pada fenomena meningkatnya kesalingterkaitan antara isu-isu internasional dan domestik. Banyak isu yang sebelumnya dianggap sebagai persoalan domestik, saat ini juga dilihat sebagai isu global dan mendapatkan perhatian yang besar dari masyarakat internasional. Pelestarian lingkungan di satu negara, sebagai contoh, kini dianggap sebagai isu global karena dampak dari pelestarian lingkungan di satu negara baik positif maupun negatif tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di negara tersebut tetapi juga masyarakat di negara-negara lain.
Kompleksitas hubungan internasional, meningkatnya kesalingtergantungan dan derasnya arus globalisasi membuat masyarakat internasional semakin menyadari arti penting collective responsibility. Gagasan tentang collective responsibility sebenarnya bukan merupakan hal baru. Pada 1980, komisi internasional yang dipimpin oleh William Brandt, bekas Kanselir Jerman (Barat), menerbitkan laporan berjudul North-South: A Programme for Survival. Dokumen yang juga dikenal sebagai Brandt Report ini menekankan pentingnya hubungan perdagangan antara negara maju dan negara berkembang yang berlandaskan pada azas manfaat untuk kedua pihak dan pemerataan kesejahteraan untuk negara-negara berkembang.
Pada tahun 1987, komisi internasional yang diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia Gro Harlem Brundtland menerbitkan laporan yang berjudul Our Common Future. Dokumen yang sering disebut sebagai Brundtland Commission Report ini menekankan pentingnya implementasi konsep pembangunan berkelanjutan untuk mengatasi tingginya tingkat kerusakan lingkungan sebagai dampak pembangunan. Salah satu tindak lanjut dari rekomendasi laporan ini adalah penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi atau Earth Summit (United Nations Conference on Environment and Development) di Rio de Janeiro, Brasil pada Juni 1992. Konferensi ini menghasilkan Rio Declaration on Environment and Development yang memuat prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan bagi negara-negara dalam menjalankan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Pada konferensi ini juga dibuka penandatanganan dua perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan yaitu Convention on Biological Diversity dan United Nations Framework Convention on Climate Change.
Prinsip collective responsibility kemudian diterapkan dalam berbagai situasi, baik secara ad hoc untuk mengatasi permasalahan tertentu yang dihadapi oleh satu negara maupun secara berkelanjutan untuk menyelesaikan persoalan di bidang pembangunan. Secara singkat, saya akan mengulas tiga contoh penerapan prinsip collective responsibility yang memiliki kaitan dengan Indonesia. Tiga contoh tersebut adalah proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca tsunami serta peran aktif Indonesia dalam inisiatif Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation dan Open Government Partneship.
Bencana alam tsunami yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004 mengakibatkan lebih dari 220.000 orang meninggal atau hilang dan 600.000 orang kehilangan tempat tinggal serta mata pencaharian. Besarnya skala kerusakan yang ditimbulkan membuat tsunami Aceh dianggap sebagai salah satu bencana tsunami terbesar dalam perjalanan sejarah manusia. Masyarakat internasional negara, organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, perusahaan multinasional, perorangan merespon peristiwa tersebut dengan memberikan bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk. Selama empat tahun, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias mengelola dana bantuan sebesar 7,2 miliar dolar Amerika Serikat dan mengkoordinasikan 1000 organisasi yang berasal dari lebih dari 50 negara termasuk Indonesia.
Partisipasi masyarakat internasional menunjukkan bahwa upaya pemulihan kondisi Aceh pasca tsunami tidak dianggap semata-mata sebagai beban serta tanggungjawab pemerintah dan bangsa Indonesia. Sebaliknya, apa yang terjadi di Aceh dianggap sebagai bencana kemanusiaan. Oleh karenanya masyarakat internasional secara kolektif juga merasa bertanggungjawab untuk terlibat dalam penanganan bencana.
Contoh berikutnya adalah partisipasi aktif Indonesia dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau juga dikenal sebagai REDD+. Program ini mencakup berbagai langkah untuk mengurangi emisi dari gas rumah kaca yang timbul akibat deforestasi dan degradasi hutan. Melalui REDD+, negara-negara berkembang yang melakukan upaya pelestarian hutan mereka yang kaya akan karbon mendapatkan insentif keuangan. Skema ini merupakan salah satu elemen kunci dalam mewujudkan komitmen Indonesia mengurangi emisi sebesar 41 persen pada tahun 2020.
REDD+ tidak hanya menekankan aspek pengurangan gas rumah kaca tetapi juga menggarisbawahi peran penting konservasi dan manajemen hutan yang berkesinambungan, serta peningkatan stok hutan karbon. Penerapan skema REDD+ di lapangan juga menitikberatkan pada partisipasi pemangku kepentingan terkait. Atas dasar tersebut, pengambilan keputusan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, penduduk asli dan komunitas tradisional yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Tujuannya adalah untuk memastikan terjaminnya hak-hak kelompok yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. REDD+ mendatangkan keuntungan dua arah bagi Indonesia. Ke dalam, program ini memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian hutan di Indonesia sekaligus memberdayakan perekonomian masyarakat. Ke luar, program ini menjadi kontribusi nyata Indonesia terhadap pengurangan emisi dari gas rumah kaca pada tingkat global sebagai bagian dari upaya menanggulangi dampak pemanasan global.
Contoh ketiga adalah peran aktif Indonesia dalam inisiatif Open Government Partnership (OGP). Inisiatif ini diluncurkan pada 2011 dan diprakarsai oleh Indonesia bersama-sama dengan tujuh negara lain (Afrika Selatan, Amerika Serikat, Brazil, Filipina, Inggris, Meksiko, dan Norwegia) serta sembilan organisasi non-pemerintah. OGP bertujuan untuk mendorong kerjasama antara pemerintah dan masyarakat madani (civil society) untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka (transparent), dapat dipertanggungjawabkan (accountable), dan tanggap terhadap warganya (responsive to their citizens). OGP menggarisbawahi bahwa upaya mewujudkan pemerintahan yang ideal akan lebih efektif jika dilakukan secara bersama-sama oleh negara-negara dengan mengikutsertakan elemen masyarakat madani.
Melalui partisipasi aktif dalam OGP, Indonesia sebagai Ketua Utama OGP pada Oktober 2013 hingga September 2014 membidik dua tujuan sekaligus. Dengan turut serta menggerakkan OGP, Indonesia berupaya mewujudkan sinergi antara pemerintah di berbagai tingkatan (pusat dan daerah) dan elemen masyarakat madani di dalam negeri untuk mewujudkan good governance. Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga turut serta mendorong peningkatan kerjasama pemerintah dan masyarakat madani pada tingkat global sehingga manfaat good governance juga dirasakan oleh masyarakat di negara-negara lain. Inisiatif ini terbukti mendapatkan sambutan positif dan dukungan luas dari masyarakat internasional. Dalam kurun waktu tiga tahun setelah dibentuk, keanggotaan OGP bertambah dari delapan negara menjadi 65 negara.
BRR Aceh-Nias, REDD+ dan Open Government Partnership di mana saya terlibat aktif di ketiganya adalah contoh penerapan prinsip collective responsibility yang Indonesia menjadi bagian di dalamnya. Indonesia juga berperan aktif dalam berbagai kerjasama di bidang-bidang lain seperti penanggulangan terorisme dan kejahatan lintas negara, pemberantasan korupsi, pemberantasan perdagangan gelap narkotika, pengentasan kemiskinan, pelarangan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal, perlindungan hak-hak asasi manusia, perdagangan bebas, demokratisasi, dialog antarkeyakinan, dan seterusnya.
Peran Indonesia dalam berbagai inisiatif dan kerja sama internasional merupakan suatu keniscayaan. Pada satu sisi, Indonesia tidak mungkin menyelesaikan permasalahan yang dihadapi tanpa keterlibatan pihak lain. Terlebih pada isu-isu yang memiliki dimensi lintas negara. Pada sisi lain, peran aktif Indonesia juga merupakan amanat konstitusi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Peran aktif tersebut tentu saja harus dijalankan secara terencana, terukur dan terkoordinasikan dengan baik dengan tujuan akhir untuk mengamankan kepentingan nasional. Oleh karenanya pengetahuan dasar mengenai hubungan internasional penting untuk dikuasai. Pengetahuan tersebut memungkinkan pengambil dan pelaku kebijakan melihat suatu permasalahan dari perspektif yang luas, tidak hanya dari sudut pandang kepentingan Indonesia tetapi juga dari sudut pandang kepentingan negara-negara lain. Pemahaman yang tepat mengenai isu-isu hubungan internasional juga memungkinkan pengambil kebijakan dapat menyusun strategi yang tepat guna mewujudkan tujuan nasional pada berbagai aspek dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada tingkat global.
Sebagai disiplin ilmu maupun dalam konteks kehidupan sehari-hari, hubungan internasional bersifat kompleks dan dinamis. Kompleks karena melibatkan banyak aktor dengan beragam kepentingan dan dijalankan melalui berbagai macam pola interaksi. Dinamis karena isu yang menjadi pokok bahasan terus berkembang sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Karena penting tetapi juga kompleks, Salmon dan Imber (2008) menyebut bahwa hubungan internasional ‘is too important to be ignored but also too complex to be understood at a glance’. Hubungan internasional terlalu penting untuk diabaikan tetapi juga terlalu rumit untuk dipahami secara sekilas.
Kamus ini memuat definisi istilah dan terminologi di bidang hubungan internasional, diplomasi, dan politik luar negeri; yang mencakup elemen teori, sejarah dan isu-isu hubungan internasional; sejarah dan praktik diplomasi; kebijakan luar negeri; hukum dan perjanjian internasional; serta organisasi internasional. Penjelasan pada setiap entri disusun dengan bahasa yang mudah dipahami, menjadikannya sebagai referensi awal yang cukup komprehensif. Memuat lebih dari 1.350 entri, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa kamus ini dapat menjadi pintu masuk atau setidaknya quick reference bagi pembaca dari semua kalangan untuk lebih memahami berbagai aspek hubungan internasional.
Jakarta, Januari 2015