Yapi Tambayong: Belum ada buku seperti "123 Ayat Tentang Seni" dalam kepustakaan kita

Diantar dengan banyak takzim, yang berarti kemauan tulus untuk merendah di depan Tuan-Tuan dan Puan-Puan...

Bantuan Hukum untuk Orang Miskin

Lord Chancellor belum lama ini telah menunjuk sebuah komite di bawah kepemimpinan Lord Rushcliffe...

Dewi Lestari: Editor Adalah Penangkal Kejenuhan Para Penulis

Banyak orang beranggapan bahwa saya adalah penulis yang tidak suka diedit. Sebetulnya itu opini yang keliru.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat: Pintu Pencerahan

Kita semua terlahir dan tumbuh bersama orang lain. Nilai-nilai kejahatan dan kebaikan pun tak akan terwujud tanpa melibatkan orang lain. Begitupun perintah berdakwah tidak akan terlaksana jika tak ada obyek yang diseru...

Dr. Ajid Tohir: Nabi Muhammad Saw dalam Kajian Ilmu Sosial-Humaniora

Tradisi menulis dan membaca kitab Sirah Nabawiyah terus dilakukan dari generasi tabi’in, tabi’it-tabi’in hingga sekarang dengan berbagai keragaman sudut pandang....

Selasa, 07 April 2015

Irwan Kurniawan: Bahasa Sebagai Pemersatu Bangsa

Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar di banyak daerah. Suku-suku bangsa itu memiliki adat dan budaya yang berbeda-beda. Setiap kelompok suku juga memiliki bahasa tersendiri untuk berkomunikasi di antara mereka. Bahasa yang digunakan oleh suatu kelompok suku di suatu daerah lazim disebut bahasa daerah, meskipun di suatu daerah kadang-kadang terdapat beberapa kelompok masyarakat yang menggunakan beberapa bahasa daerah yang berbeda.

Perbedaan bahasa antara satu daerah dengan daerah lain tentu menyulitkan komunikasi suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Namun beruntung, Indonesia memiliki bahasa yang dapat menjadi alat komunikasi antara satu suku dengan suku yang lain. Itulah bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional. Bahasa Indonesia juga merupakan alat pemersatu bangsa. Dengan bahasa Indonesia, beragam suku yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara bersatu membentuk satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Seandainya tidak ada bahasa Indonesia, niscaya kita, bangsa Indonesia, akan sulit berkomunikasi dan saling memahami perkataan satu dengan yang lain. Tidak adanya saling memahami antara warga dari satu suku dengan warga dari suku yang lain bisa mengakibatkan salah persepsi, dan selanjutnya, bisa menimbulkan pertikaian dan perpecahan.

Dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia, bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal itu karena peranan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Dan karenanya, bahasa Indonesia memiliki fungsi-fungsi yang sangat vital dalam kelangsungan berbangsa dan bernegara. Salah satu fungsinya adalah sebagai alat untuk menjalankan administrasi negara. Dengan demikian, bahasa Indonesia sangat berperan dalam mempersatukan berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial, budaya dan bahasanya.

Namun, penggunaan bahasa Indonesia di setiap daerah di Nusantara seringkali terpengaruh oleh bahasa setempat. Masyarakat di suatu daerah sering menyisipkan unsur-unsur dari bahasa daerahnya ketika berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan. Demikian pula dalam susunan kalimatnya, sehingga penduduk suatu daerah berbahasa Indonesia dengan struktur bahasa daerahnya. Hal ini dapat menyebabkan penggunaan bahasa Indonesia oleh warga masyarakat dari suatu daerah tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh warga masyarakat dari daerah lain.

Keadaan ini menuntut perlunya ejaan baku bahasa Indonesia yang bisa dijadikan pedoman oleh seluruh masyarakat di penjuru Nusantara sehingga dapat menggunakan bahasa Indonesia secara benar dan baik. Selanjutnya, untuk kepentingan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia telah menyusun dan memberlakukan ejaan bahasa Indonesia baku yang telah mengalami beberapa kali penyempurnaan sehingga akhirnya menjadi Ejaan Yang Disempurnakan atau yang biasa disingkat EYD.

Selain berisi pembahasan tentang EYD, buku ini dilengkapi dengan pembahasan-pembahasan lain, yaitu Relasi Makna, Kalimat Efektif, dan Pedoman Khusus Pembentukan Istilah Komputer. Tema-tema ini dipandang penting karena, seperti bahasa-bahasa lainnya di dunia, bahasa Indonesia terus-menerus mengalami per­kembangan, terutama dengan masuknya unsur-unsur baik bahasa daerah maupun bahasa asing.

Beruntunglah kita sebagai bangsa Indonesia, yang memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Oleh karena itu, kita harus menjaga bahasa Indonesia ini dengan sebaik-baiknya. Kita gunakan bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan, sesuai dengan kaidah-kaidahnya. Penggunaan bahasa Indonesia sesuai kaidah-kaidahnya, selain dapat mengungkapkan gagasan dan pikiran secara baik dan tepat, juga dapat melestarikan bahasa yang telah diikrarkan oleh para pendahulu kita dalam Sumpah Pemuda yang monumental.

Semoga buku ini bermanfaat bagi bangsa Indonesia, khususnya para pelajar dan mahasiswa, agar dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara benar dan baik. Hal ini, di samping akan menghindarkan salah pemahaman, juga dapat menumbuhkan kebanggaan pada bangsa dan tanah air kita, Indonesia yang kita cintai.[]

Irwan Kurniawan dalam buku EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) Penerbit Buku Nuansa Cendekia



Rabu, 11 Maret 2015

Khasan Ashari: Keterbatasan Buku Penunjang Studi Hubungan Internasional Memprihatinkan!

Meningkatnya interaksi lintas negara menyebabkan pemahaman publik tentang hubungan internasional atau international relations bergeser. Hubungan internasional tidak lagi hanya dilihat sebagai disiplin ilmu yang dipelajari di perguruan tinggi atau sebagai aktivitas diplomasi antarpemerintah dengan pelaku dari kalangan terbatas. Dewasa ini hubungan internasional sudah dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Sifat hubungan internasional yang kompleks baik sebagai disiplin ilmu maupun fenomena sehari-hari melahirkan beragam konsep dan terminologi. Sebagian hanya digunakan secara terbatas dalam diskusi di kelas, bagian terbesar kerap muncul dalam pemberitaan media dan perbincangan sehari-hari. Pemahaman mengenai konsep dan terminologi tersebut berperan penting dalam membantu kita memahami fenomena hubungan internasional secara keseluruhan. Berangkat dari pemikiran tersebut serta keprihatinan terhadap masih terbatasnya buku-buku penunjang studi hubungan internasional dalam bahasa Indonesia, penulis memberanikan diri menyusun buku ini. 

Kamus Hubungan Internasional memuat lebih dari 1.350 konsep dan terminologi yang berkaitan dengan teori, sejarah, dan isu hubungan internasional serta sejarah dan praktik diplomasi, kebijakan luar negeri, hukum dan perjanjian internasional, dan organisasi internasional. Dalam proses penyusunan buku ini, penulis menjadikan literatur hubungan internasional sebagai rujukan dipadukan dengan pengalaman dalam dunia diplomasi selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir. Penjelasan setiap entri juga disusun dengan bahasa yang sederhana untuk memudahkan pembaca memahaminya.

Entri dalam kamus ini disajikan dalam bahasa aslinya sebagian besar dalam bahasa Inggris dengan dua pertimbangan. Pertama, tidak semua istilah dan terminologi memiliki padanan dalam bahasa Indonesia yang diterima secara luas. Sebagai contoh, istilah coup d’état memiliki padanan kata kudeta namun detente yang secara literal berarti ‘mengendur’ tidak memiliki padanan kata yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia. Kedua, penggunaan bahasa asli dimaksudkan untuk menciptakan konsistensi serta menghindari kesalahan penerjemahan konsep dan terminologi yang justru akan menyulitkan pembaca dalam memahami konsep dan terminologi tersebut.

Buku ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan kebaikan banyak pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada kolega di Kementerian Luar Negeri, Kedutaan Besar/Perutusan Tetap Republik Indonesia di Wina, dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan atas saran dan masukan yang diberikan untuk perbaikan serta penyempurnaan buku ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Penerbit Nuansa Cendekia atas kepercayaan dan kerjasama yang baik, dari tahapan persiapan sampai dengan buku ini diterbitkan. 

Buku ini dapat hadir di hadapan pembaca juga karena perhatian dan pengertian istri dan anak-anak penulis selama empat tahun terakhir. Mereka sering kehilangan ‘family time’ pada akhir pekan karena keegoisan penulis untuk dapat menyelesaikan buku ini. Atas dasar tersebut, penulis mendedikasikan buku ini untuk mereka.

Proses penyusunan buku ini terasa istimewa karena diselesaikan pada saat penulis bertugas di kota Wina. Kota ini tidak hanya memiliki sejarah panjang sebagai salah satu tempat berkembangnya praktik diplomasi modern. Dewasa ini, Wina juga memiliki peran penting dalam hubungan internasional sebagai salah satu lokasi kantor organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Semoga Kamus Hubungan Internasional ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dalam memahami fenomena hubungan internasional yang pada satu sisi semakin sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari; namun pada sisi lain juga memiliki karakteristik yang semakin kompleks.

Khasan Ashari dalam buku "Kamus Hubungan Internasional" Penerbit Buku Nuansa Cendekia



Jumat, 20 Februari 2015

Samuel A. Kirk: Pertumbuhan Pendidikan Luar Biasa Telah Berkembang Selama 150 Tahun yang Lalu

Disusun dan diterbitkannya encyclopedia ini menunjukkan semakin dewasanya suatu bidang upaya yang belum lama berselang. Buku ini merupakan fokus yang berpihak pada kepentingan umum, meskipun masyarakat yang peduli ilmu ini masih terbatas. Mudah-mudahan buku ini ber­manfaat bagi masyarakat luas maupun untuk per­kem­­bangan pendidikan khusus (pendidikan luar biasa).
Orang-orang (baik secara individu maupun lembaga) yang telah melayani dan mencurahkan perhatiannya pada bidang pendidikan luar biasa selama bertahun-tahun, patut merenung. Mengapa? Ketika kepedulian masyarakat dan komitmennya terhadap kebutuhan anak luar biasa terasa minimal atau bahkan kurang, tetapi hari ini mereka tidak dapat berbuat lain selain merasa senang dan kagum terhadap usaha luas yang telah dicapainya sekarang.

Pertumbuhan pendidikan luar biasa telah berkembang secara bertahap selama 150 tahun yang lalu. Periode pertama, sekitar tahun 1850 sampai 1900, perhatian, pengelolaan, dan pendidikan anak-anak berkelainan dilakukan khususnya di lembaga-lembaga untuk anak buta (tunanetra), tuli (tunarungu), bisu (tunawicara), terbelakang mental (tunagrahita), dan anak-anak nakal (tunalaras), dan di sarana-sarana lain yang disponsori lembaga keagamaan. Periode kedua, dari tahun 1900 sampai sekitar 1950, sekolah-sekolah umum di berbagai kota besar mulai mendidik sebagian kecil dari anak-anak berkelainan dan anak berbakat. Periode ketiga, setelah tahun 1950, beberapa negara mulai memberi subsidi kepada sekolah-sekolah umum lokal untuk mendorong didirikannya pendi­dikan luar biasa untuk mengurangi tuntutan yang dikenakan atas sekolah-sekolah daerah di negara yang terlalu padat dan yang sudah rusak. Selama masa ini pemerintah federal tidak memberi bantuan keuangan kepada negara-negara bagian, karena menganggap bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara, dan bantuan federal tersebut akan menuju kepada pengawasan pendidikan federal.

Pada tahun 1950-an, preseden penolakan bantu­an federal dibuang. Orangtua mulai mengatur dan menuntut pelayanan untuk anak-anaknya yang berkelainan. Tuntutan mereka meluas di luar badan pembentuk undang-undang negara, dan akhirnya mencapai Gedung Putih. Presiden Dwight Eisenhower mendengarkan dan akibatnya meminta Kongres untuk memberi bantuan. Kongres memberi respons dengan memperkirakan beberapa juta dollar yang akan digunakan untuk penelitian dan persiapan penataan personalia yang profesional.  
Perluasan utama dan revolusi sosial terjadi pada tahun 1960-an selama pemerintahan John F. Kennedy. Setelah tindakan awal yang dilakukan presiden Eisenhower, presiden Kennedy mengirimkan satuan-satuan tugas ke beberapa negara di seluruh dunia untuk meneliti program mereka bagi anak-anak ber­kelainan.

Satuan tugas ke Uni Soviet, di mana saya ber­untung menjadi anggota, mengunjungi laboratorim-laboratorium dan sekolah-sekolah di negara tersebut selama tiga minggu, dan kembali untuk melaporkan hasil temuan mereka kepada presiden. Setelah mendengarkan laporan kemajuan di Uni Soviet, Presiden Kennedy bertanya: “Apakah Anda bermaksud untuk  mengatakan bahwa negara terbesar dan terkaya di dunia tidak bekerja sebaik Uni Soviet?” Ternyata, bulan Januari berikutnya, ia menyampaikan kepada Kongres suatu program yang luas untuk penelitian dan pelatihan berjudul “Mental Retardation Facilities and Community Mental Health Centers Construction Act”, tahun 1963. Ini diikuti oleh sejumlah perjanjian-perjanjian Kongres yang mencakup banyak jenis layanan dan jasa. Pada tahun 1975 Kongres melaksanakan Publik Law 94–142, “The Educatin for All Handicapped Children Act”. Secara menarik, perjanjian ini mengikuti Declaration of Independence yang dihormati. Ini diungkapkan sebagai berikut:

Kami menganggap kebenaran ini sebagai pem­buktian-sendiri, bahwa semua anak, berkelainan atau tidak, diciptakan sama; bahwa mereka diberkahi oleh Sang Pencipta mereka dengan hak-hak yang tidak dapat dicabut secara serta-merta, di antaranya hak atas pendidikan yang sama kepada kemampuan maksi­mum masing-masing anak. Untuk menjamin hak-hak ini, Public Law 94–142 disusun. Kami, rakyat Amerika Serikat, dengan sungguh-sungguh menya­ta­kan bahwa semua anak-anak luar biasa akan men­dapat pendidikan atas biaya umum, dan bahwa pendidikan mereka akan diberikan di dalam ling­kung­an yang paling tidak membatasi (Kirk & Gallanger, 1979: xi).

Adalah sangat menyenangkan untuk melihat pendidikan luar biasa telah menjadi komitmen umum yang penting bagi para siswa luar biasa, bukan hanya di Amerika Serikat tetapi hampir di seluruh dunia. Ini bukan saja berlaku di Kanada dan Eropa Barat, yang prestasinya di banyak bidang jasa (pela­yanan) pendidikan luar biasa seringkali men­dahului dan mengilhami Amerika Serikat selain juga Jepang, Indonesia, dan negara-negara lain kurang maju dan kurang kaya. Di sana pula, para profesional yang peduli dan orangtua berusaha memberi pendidikan kepada anak-anak dan para pemuda berkelainan, seringkali meski­pun sumber daya yang ada sangat terbatas.

Pertumbuhan pendidikan luar biasa dan komitmen yang sangat baik dari sumber daya keuangan dan manusia untuk jasa dan penelitian selama dua dasawarsa terakhir, membawa arti pada suatu ledakan informasi. Informasi yang menyebar di berbagai jurnal dan buku sangat sulit bagi para profesional untuk dikumpulkan dan diperoleh. Berbagai usaha dilakukan untuk mengendalikan informasi ini. Kontribusi jasa, database, tinjauan, dan buku petunjuk yang mengabstraksi jurnal telah banyak membantu dalam mengelola dasar pengetahuan pendidikan luar biasa. Pada waktu yang bersamaan, usaha ini tidak seluruhnya berhasil dalam mengendalikan informasi secara terpadu, atau menjadikannya mudah diakses bagi para profesional di dalam bidang yang berkaitan atau dengan orang awam yang tertarik.[]

Samuel A. Kirk, dalam buku "Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Luar Biasa"
Penerbit Buku Nuansa Cendekia


Selasa, 10 Februari 2015

Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto: Hubungan Internasional Terlalu Penting untuk Diabaikan Tetapi Juga Terlalu Rumit untuk Dipahami Secara Sekilas

Pada 6-8 September 2000, 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sepakat untuk mengadopsi Millennium Declaration. Deklarasi yang dihasilkan pada forum Millennium Summit ini memuat nilai, prinsip, serta tujuan dari agenda internasional abad ke-21. Melalui deklarasi ini, negara-negara menegaskan komitmen mereka untuk menjadikan equality, solidarity, tolerance, respect for nature, dan shared responsibility sebagai prinsip dan nilai yang menjadi dasar hubungan internasional pada abad ke-21. Tujuan di bidang pembangunan yang ditetapkan dalam Millennium Declaration kemudian dijabarkan ke dalam konsep Millennium Development Goals (MDGs). MDGs mencakup delapan tujuan di bidang pembangunan untuk diwujudkan sebelum tahun 2015, yaitu pemberantasan kemiskinan dan kelaparan; tersedianya pendidikan dasar secara universal; terwujudnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; penurunan angka kematian anak; peningkatan kesehatan ibu; penanggulangan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; pelestarian lingkungan; dan pengembangan kemitraan global untuk pembangunan. Dasar penyusunan MDGs adalah pengakuan terhadap hak setiap individu atas martabat (dignity), kebebasan (freedom), kesetaraan (equality), dan pemenuhan kebutuhan dasar; serta peningkatan toleransi dan solidaritas. 

Disepakatinya nilai, prinsip, dan tujuan dari agenda internasional sebagaimana tercantum dalam Millennium Declaration merupakan refleksi dari rangkaian perubahan tata hubungan internasional pasca Perang Dingin. Sejak itulah lahir kesempatan bagi masyarakat internasional untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap isu-isu pembangunan yang sebelumnya kerap disebut sebagai low politics dan dipandang sebagai isu kelas dua. Perubahan di atas juga tidak dapat dilepaskan dari tiga aspek yang menjadi karakteristik hubungan internasional pasca Perang Dingin. Pertama, hubungan internasional menjadi semakin kompleks sejalan dengan bertambahnya jumlah aktor yang terlibat; semakin beragamnya pola interaksi di antara aktor-aktor tersebut; serta bertambahnya aspek dan isu yang menjadi pokok bahasan. Negara tetap menjadi pelaku utama hubungan internasional namun peran aktor non-negara (seperti organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, dan perusahaan multinasional) juga semakin penting. Keamanan yang secara tradisional merupakan isu utama hubungan internasional tetap mendapatkan tempat khusus, namun isu-isu non-keamanan juga dianggap tidak kalah penting. Hubungan internasional juga tidak lagi identik dengan interaksi formal antarnegara sejalan dengan meningkatnya peran organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, dan aktor non-pemerintah lainnya utamanya pada forum diplomasi multilateral.

Kedua, kompleksitas hubungan internasional juga dibarengi dengan meningkatnya interdependence atau kesalingtergantungan di antara aktor-aktor yang terlibat. Konsep interdependence yang dipopulerkan oleh Nye dan Keohane pada 1977 merujuk pada keterkaitan kondisi, kebijakan, dan tindakan antaraktor dalam hubungan internasional. Menguatnya interdependence membuat satu negara tidak dapat lagi hanya menjadikan kepentingan nasional sebagai satu-satunya dasar pengambilan kebijakan. Negara tersebut juga harus mempertimbangkan dampak kebijakan yang diambil terhadap kepentingan negara-negara lain. Selain itu, interdependence juga meningkatkan kesalingterkaitan di antara isu-isu hubungan internasional sehingga tidak ada lagi isu yang dianggap lebih penting dari yang lain.

Ketiga, globalisasi menyebabkan menipisnya ‘batas’ antarnegara serta berkurangnya perbedaan antara isu domestik dan isu global. Konsep intermestic yang dipopulerkan oleh Manning pada 1977 banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Intermestic adalah singkatan dari international and domestic merujuk pada fenomena meningkatnya kesalingterkaitan antara isu-isu internasional dan domestik. Banyak isu yang sebelumnya dianggap sebagai persoalan domestik, saat ini juga dilihat sebagai isu global dan mendapatkan perhatian yang besar dari masyarakat internasional. Pelestarian lingkungan di satu negara, sebagai contoh, kini dianggap sebagai isu global karena dampak dari pelestarian lingkungan di satu negara baik positif maupun negatif tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di negara tersebut tetapi juga masyarakat di negara-negara lain.

Kompleksitas hubungan internasional, meningkatnya kesalingtergantungan dan derasnya arus globalisasi membuat masyarakat internasional semakin menyadari arti penting collective responsibility. Gagasan tentang collective responsibility sebenarnya bukan merupakan hal baru. Pada 1980, komisi internasional yang dipimpin oleh William Brandt, bekas Kanselir Jerman (Barat), menerbitkan laporan berjudul North-South: A Programme for Survival. Dokumen yang juga dikenal sebagai Brandt Report ini menekankan pentingnya hubungan perdagangan antara negara maju dan negara berkembang yang berlandaskan pada azas manfaat untuk kedua pihak dan pemerataan kesejahteraan untuk negara-negara berkembang. 

Pada tahun 1987, komisi internasional yang diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia Gro Harlem Brundtland menerbitkan laporan yang berjudul Our Common Future. Dokumen yang sering disebut sebagai Brundtland Commission Report ini menekankan pentingnya implementasi konsep pembangunan berkelanjutan untuk mengatasi tingginya tingkat kerusakan lingkungan sebagai dampak pembangunan. Salah satu tindak lanjut dari rekomendasi laporan ini adalah penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi atau Earth Summit (United Nations Conference on Environment and Development) di Rio de Janeiro, Brasil pada Juni 1992. Konferensi ini menghasilkan Rio Declaration on Environment and Development yang memuat prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan bagi negara-negara dalam menjalankan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Pada konferensi ini juga dibuka penandatanganan dua perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan yaitu Convention on Biological Diversity dan United Nations Framework Convention on Climate Change.

Prinsip collective responsibility kemudian diterapkan dalam berbagai situasi, baik secara ad hoc untuk mengatasi permasalahan tertentu yang dihadapi oleh satu negara maupun secara berkelanjutan untuk menyelesaikan persoalan di bidang pembangunan. Secara singkat, saya akan mengulas tiga contoh penerapan prinsip collective responsibility yang memiliki kaitan dengan Indonesia. Tiga contoh tersebut adalah proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca tsunami serta peran aktif Indonesia dalam inisiatif Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation dan Open Government Partneship.

Bencana alam tsunami yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004 mengakibatkan lebih dari 220.000 orang meninggal atau hilang dan 600.000 orang kehilangan tempat tinggal serta mata pencaharian. Besarnya skala kerusakan yang ditimbulkan membuat tsunami Aceh dianggap sebagai salah satu bencana tsunami terbesar dalam perjalanan sejarah manusia. Masyarakat internasional negara, organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, perusahaan multinasional, perorangan merespon peristiwa tersebut dengan memberikan bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk. Selama empat tahun, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias mengelola dana bantuan sebesar 7,2 miliar dolar Amerika Serikat dan mengkoordinasikan 1000 organisasi yang berasal dari lebih dari 50 negara termasuk Indonesia. 

Partisipasi masyarakat internasional menunjukkan bahwa upaya pemulihan kondisi Aceh pasca tsunami tidak dianggap semata-mata sebagai beban serta tanggungjawab pemerintah dan bangsa Indonesia. Sebaliknya, apa yang terjadi di Aceh dianggap sebagai bencana kemanusiaan. Oleh karenanya masyarakat internasional secara kolektif juga merasa bertanggungjawab untuk terlibat dalam penanganan bencana.

Contoh berikutnya adalah partisipasi aktif Indonesia dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau juga dikenal sebagai REDD+. Program ini mencakup berbagai langkah untuk mengurangi emisi dari gas rumah kaca yang timbul akibat deforestasi dan degradasi hutan. Melalui REDD+, negara-negara berkembang yang melakukan upaya pelestarian hutan mereka yang kaya akan karbon mendapatkan insentif keuangan. Skema ini merupakan salah satu elemen kunci dalam mewujudkan komitmen Indonesia mengurangi emisi sebesar 41 persen pada tahun 2020.

REDD+ tidak hanya menekankan aspek pengurangan gas rumah kaca tetapi juga menggarisbawahi peran penting konservasi dan manajemen hutan yang berkesinambungan, serta peningkatan stok hutan karbon. Penerapan skema REDD+ di lapangan juga menitikberatkan pada partisipasi pemangku kepentingan terkait. Atas dasar tersebut, pengambilan keputusan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, penduduk asli dan komunitas tradisional yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Tujuannya adalah untuk memastikan terjaminnya hak-hak kelompok yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. REDD+ mendatangkan keuntungan dua arah bagi Indonesia. Ke dalam, program ini memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian hutan di Indonesia sekaligus memberdayakan perekonomian masyarakat. Ke luar, program ini menjadi kontribusi nyata Indonesia terhadap pengurangan emisi dari gas rumah kaca pada tingkat global sebagai bagian dari upaya menanggulangi dampak pemanasan global.

Contoh ketiga adalah peran aktif Indonesia dalam inisiatif Open Government Partnership (OGP). Inisiatif ini diluncurkan pada 2011 dan diprakarsai oleh Indonesia bersama-sama dengan tujuh negara lain (Afrika Selatan, Amerika Serikat, Brazil, Filipina, Inggris, Meksiko, dan Norwegia) serta sembilan organisasi non-pemerintah. OGP bertujuan untuk mendorong kerjasama antara pemerintah dan masyarakat madani (civil society) untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka (transparent), dapat dipertanggungjawabkan (accountable), dan tanggap terhadap warganya (responsive to their citizens). OGP menggarisbawahi bahwa upaya mewujudkan pemerintahan yang ideal akan lebih efektif jika dilakukan secara bersama-sama oleh negara-negara dengan mengikutsertakan elemen masyarakat madani.

Melalui partisipasi aktif dalam OGP, Indonesia sebagai Ketua Utama OGP pada Oktober 2013 hingga September 2014 membidik dua tujuan sekaligus. Dengan turut serta menggerakkan OGP, Indonesia berupaya mewujudkan sinergi antara pemerintah di berbagai tingkatan (pusat dan daerah) dan elemen masyarakat madani di dalam negeri untuk mewujudkan good governance. Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga turut serta mendorong peningkatan kerjasama pemerintah dan masyarakat madani pada tingkat global sehingga manfaat good governance juga dirasakan oleh masyarakat di negara-negara lain. Inisiatif ini terbukti mendapatkan sambutan positif dan dukungan luas dari masyarakat internasional. Dalam kurun waktu tiga tahun setelah dibentuk, keanggotaan OGP bertambah dari delapan negara menjadi 65 negara.

BRR Aceh-Nias, REDD+ dan Open Government Partnership di mana saya terlibat aktif di ketiganya adalah contoh penerapan prinsip collective responsibility yang Indonesia menjadi bagian di dalamnya. Indonesia juga berperan aktif dalam berbagai kerjasama di bidang-bidang lain seperti penanggulangan terorisme dan kejahatan lintas negara, pemberantasan korupsi, pemberantasan perdagangan gelap narkotika, pengentasan kemiskinan, pelarangan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal, perlindungan hak-hak asasi manusia, perdagangan bebas, demokratisasi, dialog antarkeyakinan, dan seterusnya. 
Peran Indonesia dalam berbagai inisiatif dan kerja sama internasional merupakan suatu keniscayaan. Pada satu sisi, Indonesia tidak mungkin menyelesaikan permasalahan yang dihadapi tanpa keterlibatan pihak lain. Terlebih pada isu-isu yang memiliki dimensi lintas negara. Pada sisi lain, peran aktif Indonesia juga merupakan amanat konstitusi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Peran aktif tersebut tentu saja harus dijalankan secara terencana, terukur dan terkoordinasikan dengan baik dengan tujuan akhir untuk mengamankan kepentingan nasional. Oleh karenanya pengetahuan dasar mengenai hubungan internasional penting untuk dikuasai. Pengetahuan tersebut memungkinkan pengambil dan pelaku kebijakan melihat suatu permasalahan dari perspektif yang luas, tidak hanya dari sudut pandang kepentingan Indonesia tetapi juga dari sudut pandang kepentingan negara-negara lain. Pemahaman yang tepat mengenai isu-isu hubungan internasional juga memungkinkan pengambil kebijakan dapat menyusun strategi yang tepat guna mewujudkan tujuan nasional pada berbagai aspek dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada tingkat global.

Sebagai disiplin ilmu maupun dalam konteks kehidupan sehari-hari, hubungan internasional bersifat kompleks dan dinamis. Kompleks karena melibatkan banyak aktor dengan beragam kepentingan dan dijalankan melalui berbagai macam pola interaksi. Dinamis karena isu yang menjadi pokok bahasan terus berkembang sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Karena penting tetapi juga kompleks, Salmon dan Imber (2008) menyebut bahwa hubungan internasional ‘is too important to be ignored but also too complex to be understood at a glance’. Hubungan internasional terlalu penting untuk diabaikan tetapi juga terlalu rumit untuk dipahami secara sekilas. 

Kamus ini memuat definisi istilah dan terminologi di bidang hubungan internasional, diplomasi, dan politik luar negeri; yang mencakup elemen teori, sejarah dan isu-isu hubungan internasional; sejarah dan praktik diplomasi; kebijakan luar negeri; hukum dan perjanjian internasional; serta organisasi internasional. Penjelasan pada setiap entri disusun dengan bahasa yang mudah dipahami, menjadikannya sebagai referensi awal yang cukup komprehensif. Memuat lebih dari 1.350 entri, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa kamus ini dapat menjadi pintu masuk atau setidaknya quick reference bagi pembaca dari semua kalangan untuk lebih memahami berbagai aspek hubungan internasional.

Jakarta, Januari 2015

Dalam buku Kamus Hubungan Internasional, Khasan Ashari, Penerbit Buku Nuansa Cendekia



Kamis, 27 November 2014

DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): Etika Politik Telah Dicontohkan Rasulullah Saw.

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dengan penuh rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, Allah Swt, saya menyambut baik terbitnya buku berjudul “Etika Politik: Paradigma Politik Bersih, Cerdas, Santun, Berbasis Nilai Islam”, yang ditulis secara rinci dan jernih oleh Saudara Ir. H. E. Herman Khaeron, M.Si. Buku ini sangat penting bagi kita untuk memahami, memaknai, dan menjalankan etika politik dan akhlak mulia yang dilandasi oleh ajaran Islam yang luhur dan agung.

Etika politik yang menjadi topik utama dalam buku ini, digali dari nilai-nilai ajaran Islam, utamanya implementasi akhlak dalam kehidupan, mulai dari akhlak pribadi, akhlak sosial, hingga akhlak politik menuju tatanan etika politik yang bersih. Islam mengajarkan kepada umatnya utuk mempraktikkan etika politik yang bersih, cerdas, dan santun. Islam menjadi pendorong bagi umatnya untuk tampil paling depan membawa kemajuan dan kesejahteraan.

Etika politik dalam ajaran Islam telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw ketika membangun tatanan peradaban baru di Makkah dan Madinah, tatanan peradaban yang dibangun dengan keimanan (aqidah), kepribadian yang mulia (akhlakul karimah), dan ukhuwah Islamiyah yang erat, serta etika politik yang beradab. Inilah tatanan peradaban yang mampu melahirkan khaira ummah (umat yang terbaik dan utama), umat yang dibangun atas dasar keimanan dan ketakwaan yang kukuh, yang dibangun dengan ketaatan atas tuntunan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.

Etika politik sebagai wacana dan praktik terus berjalan dinamis untuk menemukan pola-pola terbaiknya, menyesuaikan dengan kekhasan karakter lokal di mana demokrasi dipraktikkan, dan mencari jalan keluar terbaik atas masalah-masalah yang dihadapi. Etika politik tentu mempunyai varian makna yang cukup beragam. Di era modern saat ini, demokrasi cenderung ditekankan pada makna bahwa dalam konteks politik, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat (rule the people). Menegakkan etika politik akan memberikan berbagai kesempatan untuk partisipasi yang efektif, persamaan dalam memberikan suara, serta pemahaman yang jernih dalam demokrasi. Dalam konteks mewujudkan etika politik di negeri kita, sesungguhnya bukan hanya untuk perlindungan kepentingan individu, namun juga untuk menciptakan warga negara yang memiliki dan mengembangkan etika politik cerdas, memelihara etika politik yang santun, dan mewujudkan tatanan demokrasi yang egaliter.

Pendek kata, etika politik sampai saat ini belum berhenti mencari bentuk­nya yang terbaik, yang lebih cocok untuk semua manusia, dan untuk semua kepentingan. Namun, ajaran Islam telah memberikan panduan dan arah yang jelas bagaimana kita mengimplimentasikan etika politik atau siyâsatul-akhlâq dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana dituangkan dalam buku ini.

Kita patut bersyukur, di negeri kita yang majemuk ini, demokrasi tumbuh dan berkembang dengan baik. Kita berhasil membuktikan kepada dunia, bahwa Islam, demokrasi, dan modernitas dapat berjalan seiring dan sejalan, bahkan saling melengkapi. Ajaran Islam yang bersifat universal telah menjadi inspirasi yang tidak pernah kering bagi kita dalam mewujudkan sikap toleransi, perdamaian, demokrasi, dan jembatan ke arah kemajuan peradaban dunia. Melalui demokrasi yang kita pilih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita dapat menyebarkan Islam yang sejuk dan damai serta mampu membangun nilai-nilai peradaban Islam yang emansipatoris, progresif, mencerahkan, dan memberikan kedamaian.

Akhirnya, saya berharap buku ini dapat menjadi panduan bagi segenap warga bangsa, utamanya yang terlibat aktif dalam dinamika politik di tanah air kita. Jika kita terapkan etika politik yang bersih, cerdas, dan santun sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, insya Allah kita akan tampil sebagai sebuah negara demokrasi yang kuat, bermakna, dan memiliki akhlak mulia.

Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, Juni 2013
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Dalam buku "Etika Politik: Paradigma Politik Bersih, Cerdas, Santun, Berbasis Nilai Islam" - Ir. H. E. Herman Khaeron, M. Si. - Penerbit Buku Nuansa Cendekia

Senin, 24 November 2014

Dr. Marwah Daud Ibrahim, MA: Pendidikan Sebagai Kunci Utama Kemajuan

Bismillâhir-rahmânir-rahîm

SAYA menyambut baik buku tentang perlunya energi positif bagi guru serta berterimakasih atas undangan Mas Yusron Aminulloh untuk berbagi pengalaman. Alhamdulillah, meski saya sudah bersahabat sejak 1989—saat dia masih menjadi wartawan, tetapi baru tujuh tahun terakhir ini kami berinteraksi sangat intens, baik dalam berbagai kegiatan dalam konteks “Bangun Karakter Bangsa” termasuk di dalamnya berjumpa dengan para guru, widyaswara, maupun kegiatan lain yang memfokuskan pada kekuatan unggulan lokal.

Dan saya tahu, sejak awal 2009, Mas Yusron sangat intens bertemu dengan banyak guru, baik di Provinsi Riau, di Jawa Timur hingga NTB dan berbagai kota lainnya di Indonesia. Ini sesuai dengan tekadnya ketika mengikuti pelatihan MHMMD (Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan) yang kami kelola. Dia punya satu tekad mulia, yakni dalam 10 tahun ke depan ingin berjumpa dan bersilaturahmi dengan 100 ribu guru. Subhanallah, semua niat baik insya Allah dikabulkan-Nya. 

Langkah Mas Yusron dengan gerakannya “Menebar Energi Positif” (MEP) tentu seiring dengan langkah kami di MHMMD yang sudah sejak tahun 2002—dan tentu banyak lembaga lainnya —melakukan upaya kongkrit perubahan mindset, termasuk untuk para guru di Indonesia. Hal ini dikarenakan guru adalah salah satu agen perubahan yang terdepan. Di tangan merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan, karenanya pemahaman guru akan masa depan sangat penting, karena mereka “memegang” posisi kunci untuk mentransformasi nilai-nilai kemajuan kepada anak didiknya. 

Sebagaimana kita ketahui, bangsa ini adalah bangsa besar, penduduknya masuk dalam lima terbesar di dunia, serta kekayaan alamnya melimpah. Tetapi pertanyaannya adalah, kenapa masih banyak orang miskin, menganggur, termasuk jutaan pengangguran terdidik, bahkan sarjana? Mengapa Jepang, Korea Selatan dan Malaysia yang pada tahun 1957 hampir setara tingkat kemajuan ekonominya dengan Indonesia, tetapi setelah 50 tahun, pada tahun 2007, begitu jauh melampui kemajuan Indonesia?

Barangkali salah satu buku Who Prospers: How Culture Values Shape Ekonomic and Political Success karya Lawrence E. Harisson bisa menjadi salah satu referensi kita untuk memahami keindonesiaan kita sekarang. Lawrence, setelah melakukan studi empiris di berbagai negara, menyimpulkan bahwa kunci kemajuan suatu bangsa bukanlah kekayaan sumber daya alamnya, tetapi sumber daya manusianya. Juga bukan ditentukan oleh sistem politiknya, tetapi terutama ditentukan oleh nilai budaya (values) dan perilaku serta karakter positifnya.

Melalui studi di berbagai negara ditemukan bahwa kemajuan bangsa sangat terkait dengan nilai-nilai positif dan perilaku, serta karakter yang mendukung kemajuan. Antara lain adalah tingginya saling percaya dan kemampuan saling bekerjasama antarwarga (radius of trust), kepatuhan pada hukum, kehidupan sederhana pejabat, dan penghargaan tinggi pada pekerjaan. Kemajuan seseorang bukan berupa harapan pribadi, tetapi kewajiban kepada Pencipta dan bentuk pengabdian pada orangtua dan leluhur, serta keturunan. Kerja keras juga dinilai sebagai kehormatan dan akan mendapatkan balasan mulia. Pendidikan dinilai sebagai kunci utama untuk kemajuan. Disiplin, kebiasaan menabung dan pantang menyerah merupakan bagian dari nilai dan sikap hidup.

Realitas yang ditunjukkan Lawrence itu memperlihatkan betapa peran guru sangat dominan untuk melakukan perubahan mindset kepada anak didik, agar mereka kelak menjadi generasi yang memiliki radius of trust antarmereka. 

Maka, upaya peningkatan kapasitas guru wajib dilakukan, termasuk salah satunya lewat karya tulis berupa buku yang hari ini hadir di hadapan pembaca. Tentu ditunggu karya-karya yang lain dari banyak penulis yang lain, karena jutaan guru di negeri ini sangat membutuhkan referensi yang sangat banyak.

Akhirnya, saya sampaikan selamat atas terbitnya buku ini. Semoga Allah Swt mencatatnya sebagai amal ibadah kepada-Nya.[]

Jakarta, 9 Juni 2011
Marwah Daud Ibrahim
Pengurus Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Cendekiawan yang peduli pendidikan, salah satu penggagas dan peng­gerak tim Bangun Karakter Bangsa. Juga penggagas dan pendiri Training MHMMD (Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan) yang juga mentrainer ribuan guru di samping sejumlah BUMN, Pemda dan Pemprov di Indonesia.

Dalam buku "Mindset Pembelajaran: 10 Langkah Mendidik Siswa secara Kreatif dan Humanis" - Yusron Aminullah - Penerbit Buku Nuansa Cendekia

Prof. Jakob Sumardjo: Kesaksian Seorang Penyair

Buku “Puisi dan Bulu Kuduk” ini berisi sekumpulan tulisan penyair Acep Zamzam Noor tentang ke­pe­nyairannya, tentang makna puisi, tentang teman-teman seangkatannya, yang pada dasarnya merupakan kesaksian otentik Acep terhadap hubungan diri dan zamannya. Seorang penyair yang “berumah dan beranak pinak dalam timbunan sajak”, seperti diungkapka Chairil Anwar, akhirnya akan tiba pada pertanyaan mendasar: puisi ini sebenarnya apa?

Dalam tulisan “Puisi dan Bulu Kuduk” (yang dijadikan judul bukunya ini) Acep Zamzam Noor mencoba mendefinisikan puisi itu apa? Begitu pula dalam beberapa tulisannya yang lain dia ada menyinggung persoalan yang amat esensial bagi orang yang memilih hidup sebagai penyair. Dan jawabannya tentulah spekulatif karena pertanyaan itu sebenarnya pertanyaan filosofis. Semua itu tergantung dari pengalaman hidup kepenyairannya dan sistem pengetahuan yang diperolehnya.

Tetapi Acep telah memulainya di jalan yang benar, yakni sejak awal telah mempertanyakan puisi itu apa. Modalnya hanya bertanya. Hidup itu pertanyaan. Dan karena hidup ini pertanyaan, dan bukan jawaban, maka kegelisahan Acep bertebaran di berbagai puisi yang ditulisnya. Sedangkan jawaban-jawaban yang dicoba dituturkan dalam tulisan-tulisannya ini sebenarnya “terpaksa” dia lakukan karena ada pihak yang memintanya. Dan jawaban-jawaban ini mungkin sekali akan berubah di kelak kemudian hari karena kerja berpuisi dan berkesenian apa pun merupakan kerja bertanya, jawaban yang menimbulkan pertanyaan berikutnya, dan seterusnya sampai kita tidak berada di dunia ini dan mungkin tak diperlukan pertanyaan lagi.

Pertanyaan itu adalah tentang makna. Untuk apa hidup ini? Mengapa aku dilahirkan di sini? Mengapa ada puisi? Mengapa puisi begitu dahsyat dapat membuat pembacanya ekstase? Bulu kuduk berdiri seperti tiba-tiba melihat hantu di seberang meja tulisnya? Mengapa batu seperti itu? Apakah batu punya makna? Tuhan itu sebenarnya apa atau siapa? Kebermaknaan segala sesuatu ditanyakan manusia, ditanyakan Acep Zamzam, karena ingin hidupnya bukan sekadar menjalani hidup ini, tetapi percaya bahwa ada makna di sebalik semua yang dijalani dan dialaminya. Ya, itu semua apa?

Saya akan meminjam kearifan lokal Sunda untuk menjawab pertanyaan dengan sejuta jawabannya ini agar kita kira-kira dapat mendudukkan persoalan agak lebih tertata. Seperti dapat disimak dari mitos-mitos metafisika Sunda, Jawa, Minang, dan mungkin ada beberapa lagi, keberadaan ini, atau Ada ini, being ini, ada awalnya. Yang berawal ini (dan tak tahu kapan berakhir) nyatanya didahului oleh yang “tak berawal” yang di Sunda disebut awang-awang uwung-uwung, di Jawa disebut awang uwung suwung, dan di Minang sisebut awang gumawang (Tambo Minangkabau). Oleh beberapa penafsir modern sering disebut Kosong, yang memang dapat menimbulkan berbagai bantahan. Apalagi kalau disebut Tiada atau Tidak Ada.

Di Sunda modern disebut euweuh dan teu aya. Mereka yang belajar filsafat Barat tentu akan tersenyum sinis membaca istilah-istilah ini, kecuali beberapa filosof Barat yang tersisih seperti Plotinus, Spinoza, Whitehead.
Bagaimana nalar suwung itu menjadi Ada yang kita kenal ini. Suwung dalam bahasa Jawa bisa dikatakan pada saat rumah sedang ditinggalkan penghuninya. Ketika saya berkunjung ke rumah Acep Zamzam Noor, rumahnya terkunci, digedor sekeras-kerasnya tetap tidak ada bunyi apa pun. Jadi rumah ini sedang ditinggalkan penghuninya yang mungkin sejam akan kembali atau sore hari akan kembali atau dua hari kemudian akan kembali. Tidak tahu.

Dalam kearifan nenek moyang orang Sunda, dari awang-uwungan itu muncul keluar tiga wujud batara, yakni Batara Keresa (Kehendak), Batara Kawasa (Kekuatan, tenaga, Energi) dan Batara Bima Mahakarana (karana = sebab, penyebab, pi­kiran). Ketiga batara menyatu menjadi Batara Tunggal, dan dari dialah muncul keberadaan yang kita kenal dan kita pertanyakan ini.

Di Jawa dari suwung tadi muncul suara gentra dan sebentuk telur purba. Telur itu menjelma menjadi tiga realitas, yakni waktu (siang dan malam, atau terang dan gelap), ruang (bumi dan langit), serta pelaku (Batara Manik atau Batara Guru serta Batara Maya atau Batara Semar, Ismaya).
Di Tambo Minangkabau dikisahka adanya awang guma­wang. “Tatkala itu awal belum akhir pun belum, bumi dan langit pun belum. Semesta sekalian pun belum. Loh dan kalam pun belum. Arasy dan Kursy pun belum”, begitu kata tambo ini. Lalu terbitlah Cahaya, maka jadilah Nur Muhammad. Dan dari sanalah Ada ini menjadi ada.

Kalau kita perhatikan, ketiga mitologi yang mengandung metafisika dalam filsafat modern kita ini, jelas terlihat esensi ketiganya, yakni adanya Ada ini berasal dari awang uwung melalui wujud ketiga yang keluar muncul begita saja dari yang Tiada tadi. Nalarnya adalah: Tiada – mediasi – Ada. Tiga Batara, manikmaya, Nur Muhammad adalah mediasi dari Tiada, Kosong, menjadi ada yang kita kenal ini.

Dan kunci dari misteri Kosong menjadi Ada adalah ungkapan-ungkapan di dalam mitos-mitos itu sendiri. Dalam mitos Sunda alam Kosong tadi menyebutkan dirinya sama dengan Batara Tunggal, Manikmaya, atau Nur Muhammad. Ucapa Sunda berbunyi: Aku (ada) adalah Dia sebagai aku. Ungkapan Jawa: keadaan-Ku (kosong) adalah keadaanmu, dan keadaanmu adalah keadaan-Ku. Di Minang bunyinya juga mirip: Aku (kosong) dan engkau pun (ada) tiada lain daripada aku (Ana anta wa anta ana).

Jelaslah sudah  bahwa pertanyaan “ada ini sesungguhnya apa”?, dijelaskan oleh nenek moyang Indonesia bahwa makna Ada ini bersumber dari Kosong tadi itu, yang tak berawal tak berakhir, yang tak pernah kita dapat memasuki dan dapat kita kenal, sesuatu yang asing dan tak ada padanannya di dunia ini, yang kalau berhasil muncul di dunia (puisi) ini membikin Acep Zamzam Noor bulu kuduknya berdiri. Kaget. Terpesona. Mengejutkan. Ekstase. Bikin mabuk berhari-hari memikirkan sepotong sajak Goenawan Mohamad.

Bukankah mitos-mitos metafisik tadi gambaran manusia juga? Manusia itu pada dasarnya “Ada” dan sekaligus “Tiada”, atau “Isi” dan sekaligus “Kosong”. Puisi “Di beranda ini…” dari Goenawan adalah “isi”, wujud, ada, sehingga kita dapat menangkapnya. Tetapi puisi itu juga bagian dari “kosong”, tidak ada, yang oleh Goenawan, entah bagaimana cara dan prosesnya, menjadi ada. Dan puisi itu mengagetkan, menohok pikiran dan batin kita, membawa kita melayang tak menentu ke alam imajinasi yang tak putus-putus ujung pangkalnya, karena dia sama dengan Kosong tadi itu.

Pada dasarnya setiap penyair dan manusia kreatif berlomba-lomba bergerak mendekati batas Kosong tadi dari dunia Isi kita ini. Mediasinya tak lain adalah wujud-wujud Ada ini sendiri. Jadi prosesnya terbalik dengan mitos metafisika tadi. Kalau orang berhasil “masuk” alam Kosong tadi, maka ia membawanya ke dunia Isi ini dan menuturkannya menurut gaya, teknik, tradisi, yang dia akrabi.

Sekarang coba kita terapkan pada Acep Zamzam Noor sen­diri. Kita mengenal Acep sebagai penyair setelah kita membaca seluruh hasil karyanya. Sehabis pembacaan, kita akan berucap, wah begitulah Acep itu. Tetapi benarkah yang Anda kira itu? Apakah Acep memang sama dengan semua puisinya? Dirinya apakah sama dengan karyanya?

Acep itu juga mengandung Kosong tadi itu. Acep itu kemungkinan dan tidak kemungkinan sekaligus seperti kita semua ini. Acep adalah Acep (yang terlihat) sekaligus bukan Acep (kosong). Namun karena kita hanya mampu melihat apa yang “Ada” saja, dan tak lain berdasarkan apa yang terlihat. Tetapi seperti ucapan purba bahwa “Aku pun tiada lain daripada engkau”, maka “isi” itu pun tiada lain daripada “Kosong” yang sulit dirumuskan tadi itu.

Acep, Goenawan, Sapardi, adalah mediasi Kosong dan Isi, Tiada dan Ada, melalui yang Ada itu kita mengenal yang Tidak Ada itu. Dan apa yang Tidak Ada alias awang-uwung alias Kosong itu tak lain adalah puisi mereka. Di balik tiap penyair itu ada Kosong yang sama dan satu, milik semua ciptaan. Masalahnya bagaimana kita dapat mencapai batas keduanya.

Marilah kita dengarkan orang Barat. Ahli matematika Hadamard dan novelis Pearl S. Buck, sama-sama mengatakan, bahwa kebermaknaan adalah soal sistem hubungan. Sesuatu itu bermakna kalau kita dapat membangun sistem hubungan esensial segala sesuatu yang kita ketahui. Sistem hubungan berarti ada berbagai unsur esensial yang membentuk hubungan sebab akibat tertentu sehingga merupakan satu kesatuan bermakna. Konsep ini mirip Batara Tunggal Baduy yang terdiri dari Batara Keresa, Batara Kawasa dan Batara Mahakarana yang menyatu dalam membentuk sistem hubungan tertentu, misalnya keresa (kehendak), perbuatan (kawasa), serta karana (pikiran), tetapi juga bisa hubungan kuasa-kehendak-pikiran.
Mediasi penyair atau manusia kreatif tak lain adalah seni memperoleh sistem hubungan esensial terhadap segala sesuatu yang menjadi cara berpikirnya, untuk terhubungkan dengan alam kosong pada dirinya, sehingga muncul makna yang bikin bulu kuduk berdiri itu.

Penyair, pemikir, metafisikawan, musyid, memiliki cara kerja yang sama dalam memperoleh sesuatu dari kekosongan dirinya itu. Peristiwa ini tidak dapat direncanakan, hanya dapat dicari, ditanyakan, sampai tiba saat aha erlebnis atau eureka  yang berbunyi: nah inilah jawabannya! Hal ini juga diungkapkan oleh Acep Zamzam Noor dalam proses kreatifnya. Penyair itu orang yang beruntung, orang yang tercerahkan, orang yang dapat “wangsit” modern, berupa cahaya bohlam dalam balon komik Tintin. Bagaimanapun hasrat Anda sebesar gunung untuk menjadi otentik, kalau Anda tidak punya pertanyaan esensial tentang keberadaan ini, dan tidak kerja keras untuk menemukan jalan ke arah kekosongan diri Anda, maka Anda hanya akan menjadi penyair kerajinan belaka. Puisi bukan soal bentuk dan teknik berpuisi, tetapi menemukan kebenaran puitik yang tak terduga oleh Anda sendiri, sehingga bulu kuduk yang berdiri pertama kali ya hanya Anda sendiri. Inilah yang dikatakan kitab apokrif Mesir abad pertama:

Biarkan dia yang mencari terus tetap mencari
Kalau dia sudah menemukan
Akan dialaminya berbagai kesulitan
Tapi dalam kesulitan itulah
Semua hal akan dibukakan padanya.

Hubungan itu bukan hubungan benda-benda, tetapi hubungan esensi kerja beda. Daun gugur menggambarkan manusia yang mati, adalah hubungan cara kerja esensialnya. Daun itu tanggal dari pohon, nyawa itu tanggal dari badan. Itu sudah amat klise. Tetapi bagaimana Anda bisa melihat hubungan antara kursi dengan janda? Kalau Anda mampu menunjukkan adanya hubungan esensial keduanya, maka bulu kuduk Anda akan berdiri. Dalam bangunan puisi hubungan-hubungan asensial semacam itu rumit karena unsur-unsur yang dipakai bukan hanya dua.

Begitulah “teori Bulu Kuduk” Acep Zamzam Noor ini kalau saya tafsirkan. Sebagai penyair yang penting ia menulis puisi yang membuat bulu kuduknya berdiri, begitu pula bulu kuduk para pembacanya. Teori bulu kuduk itu hanya awal puisi yang otentik, setelah itu Anda akan diperkaya oleh jalinan makna di dalamnya yang semakin rumit pula, namun semuanya merupakan kesatuan kemasukakalan. Penyair tak lain adalah pemikir, karena dia penanya. Tetapi Acep bukanlah seorang pemikir teori, sehingga kewajiban kaum akademisi yang harus menjelaskan teorinya itu! Kerja penyair tak laian adalah berteori melalui puisi-puisinya yang bikin pembacanya ekstase tadi itu.

Acep Zamzam Noor sekarang sudah menjadi orang tua semacam Saini K.M. pada waktu Acep muda remaja. Pengganti Saini ya Acep Zamzam dengan membentuk komunitas sastranya di Tasikmalaya. Sudah waktunya pula Acep seperti Saini K.M. yang sembari menulis puisi mengajar kaum muda memasuki dunia puisi yang “baik dan benar” menurut pandangan ke­penyairannya. Generasi Acep belajar dari generasi Saini K.M. yang rata-rata menguasai literatur sastra dunia oleh penguasaan bahasa Inggris mereka. Generasi Saini, Goenawan, Taufik, Sapardi adalah reaksi atas generasi pertama puisi Indonesia, yakni Chairil Anwar dan Amir Hamzah, yang mereka ini sangat menguasai bahasa Belanda. Apakah generasi Pos-Acep ini justru akan kembali pada bahasa dan budaya bahasa mereka?

Estafet puisi Indonesia ini mungkin tidak berlangsung secara linier tetapi secara non-linier, yakni justru kembali pada akar-akar sistem hubungan esensial yang dimiliki oleh kearifan lokal bahasa masing-masing. Kasus Godi Suwarna mungkin dapat menunjukkan gejala itu.
Bagaimana Anda dapat nerumuskan Kosong itu apa, puisi itu apa, hidup itu apa, seni itu apa? Acep Zamzam Noor tidak, saya pun tidak. Puisi itu awang-awang uwung-uwungan.[]

Bandung, 6 Mei 2011
Prof. Jakob Sumardjo, dalam buku "Puisi dan Bulu Kuduk: Perihal Apresiasi dan Proses Kreatif" - Acep Zamzam Noor - Penerbit Buku Nuansa Cendekia