Yapi Tambayong: Belum ada buku seperti "123 Ayat Tentang Seni" dalam kepustakaan kita

Diantar dengan banyak takzim, yang berarti kemauan tulus untuk merendah di depan Tuan-Tuan dan Puan-Puan...

Bantuan Hukum untuk Orang Miskin

Lord Chancellor belum lama ini telah menunjuk sebuah komite di bawah kepemimpinan Lord Rushcliffe...

Dewi Lestari: Editor Adalah Penangkal Kejenuhan Para Penulis

Banyak orang beranggapan bahwa saya adalah penulis yang tidak suka diedit. Sebetulnya itu opini yang keliru.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat: Pintu Pencerahan

Kita semua terlahir dan tumbuh bersama orang lain. Nilai-nilai kejahatan dan kebaikan pun tak akan terwujud tanpa melibatkan orang lain. Begitupun perintah berdakwah tidak akan terlaksana jika tak ada obyek yang diseru...

Dr. Ajid Tohir: Nabi Muhammad Saw dalam Kajian Ilmu Sosial-Humaniora

Tradisi menulis dan membaca kitab Sirah Nabawiyah terus dilakukan dari generasi tabi’in, tabi’it-tabi’in hingga sekarang dengan berbagai keragaman sudut pandang....

Kamis, 27 November 2014

DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): Etika Politik Telah Dicontohkan Rasulullah Saw.

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dengan penuh rasa syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, Allah Swt, saya menyambut baik terbitnya buku berjudul “Etika Politik: Paradigma Politik Bersih, Cerdas, Santun, Berbasis Nilai Islam”, yang ditulis secara rinci dan jernih oleh Saudara Ir. H. E. Herman Khaeron, M.Si. Buku ini sangat penting bagi kita untuk memahami, memaknai, dan menjalankan etika politik dan akhlak mulia yang dilandasi oleh ajaran Islam yang luhur dan agung.

Etika politik yang menjadi topik utama dalam buku ini, digali dari nilai-nilai ajaran Islam, utamanya implementasi akhlak dalam kehidupan, mulai dari akhlak pribadi, akhlak sosial, hingga akhlak politik menuju tatanan etika politik yang bersih. Islam mengajarkan kepada umatnya utuk mempraktikkan etika politik yang bersih, cerdas, dan santun. Islam menjadi pendorong bagi umatnya untuk tampil paling depan membawa kemajuan dan kesejahteraan.

Etika politik dalam ajaran Islam telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw ketika membangun tatanan peradaban baru di Makkah dan Madinah, tatanan peradaban yang dibangun dengan keimanan (aqidah), kepribadian yang mulia (akhlakul karimah), dan ukhuwah Islamiyah yang erat, serta etika politik yang beradab. Inilah tatanan peradaban yang mampu melahirkan khaira ummah (umat yang terbaik dan utama), umat yang dibangun atas dasar keimanan dan ketakwaan yang kukuh, yang dibangun dengan ketaatan atas tuntunan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.

Etika politik sebagai wacana dan praktik terus berjalan dinamis untuk menemukan pola-pola terbaiknya, menyesuaikan dengan kekhasan karakter lokal di mana demokrasi dipraktikkan, dan mencari jalan keluar terbaik atas masalah-masalah yang dihadapi. Etika politik tentu mempunyai varian makna yang cukup beragam. Di era modern saat ini, demokrasi cenderung ditekankan pada makna bahwa dalam konteks politik, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat (rule the people). Menegakkan etika politik akan memberikan berbagai kesempatan untuk partisipasi yang efektif, persamaan dalam memberikan suara, serta pemahaman yang jernih dalam demokrasi. Dalam konteks mewujudkan etika politik di negeri kita, sesungguhnya bukan hanya untuk perlindungan kepentingan individu, namun juga untuk menciptakan warga negara yang memiliki dan mengembangkan etika politik cerdas, memelihara etika politik yang santun, dan mewujudkan tatanan demokrasi yang egaliter.

Pendek kata, etika politik sampai saat ini belum berhenti mencari bentuk­nya yang terbaik, yang lebih cocok untuk semua manusia, dan untuk semua kepentingan. Namun, ajaran Islam telah memberikan panduan dan arah yang jelas bagaimana kita mengimplimentasikan etika politik atau siyâsatul-akhlâq dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana dituangkan dalam buku ini.

Kita patut bersyukur, di negeri kita yang majemuk ini, demokrasi tumbuh dan berkembang dengan baik. Kita berhasil membuktikan kepada dunia, bahwa Islam, demokrasi, dan modernitas dapat berjalan seiring dan sejalan, bahkan saling melengkapi. Ajaran Islam yang bersifat universal telah menjadi inspirasi yang tidak pernah kering bagi kita dalam mewujudkan sikap toleransi, perdamaian, demokrasi, dan jembatan ke arah kemajuan peradaban dunia. Melalui demokrasi yang kita pilih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita dapat menyebarkan Islam yang sejuk dan damai serta mampu membangun nilai-nilai peradaban Islam yang emansipatoris, progresif, mencerahkan, dan memberikan kedamaian.

Akhirnya, saya berharap buku ini dapat menjadi panduan bagi segenap warga bangsa, utamanya yang terlibat aktif dalam dinamika politik di tanah air kita. Jika kita terapkan etika politik yang bersih, cerdas, dan santun sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, insya Allah kita akan tampil sebagai sebuah negara demokrasi yang kuat, bermakna, dan memiliki akhlak mulia.

Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, Juni 2013
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Dalam buku "Etika Politik: Paradigma Politik Bersih, Cerdas, Santun, Berbasis Nilai Islam" - Ir. H. E. Herman Khaeron, M. Si. - Penerbit Buku Nuansa Cendekia

Senin, 24 November 2014

Dr. Marwah Daud Ibrahim, MA: Pendidikan Sebagai Kunci Utama Kemajuan

Bismillâhir-rahmânir-rahîm

SAYA menyambut baik buku tentang perlunya energi positif bagi guru serta berterimakasih atas undangan Mas Yusron Aminulloh untuk berbagi pengalaman. Alhamdulillah, meski saya sudah bersahabat sejak 1989—saat dia masih menjadi wartawan, tetapi baru tujuh tahun terakhir ini kami berinteraksi sangat intens, baik dalam berbagai kegiatan dalam konteks “Bangun Karakter Bangsa” termasuk di dalamnya berjumpa dengan para guru, widyaswara, maupun kegiatan lain yang memfokuskan pada kekuatan unggulan lokal.

Dan saya tahu, sejak awal 2009, Mas Yusron sangat intens bertemu dengan banyak guru, baik di Provinsi Riau, di Jawa Timur hingga NTB dan berbagai kota lainnya di Indonesia. Ini sesuai dengan tekadnya ketika mengikuti pelatihan MHMMD (Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan) yang kami kelola. Dia punya satu tekad mulia, yakni dalam 10 tahun ke depan ingin berjumpa dan bersilaturahmi dengan 100 ribu guru. Subhanallah, semua niat baik insya Allah dikabulkan-Nya. 

Langkah Mas Yusron dengan gerakannya “Menebar Energi Positif” (MEP) tentu seiring dengan langkah kami di MHMMD yang sudah sejak tahun 2002—dan tentu banyak lembaga lainnya —melakukan upaya kongkrit perubahan mindset, termasuk untuk para guru di Indonesia. Hal ini dikarenakan guru adalah salah satu agen perubahan yang terdepan. Di tangan merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan, karenanya pemahaman guru akan masa depan sangat penting, karena mereka “memegang” posisi kunci untuk mentransformasi nilai-nilai kemajuan kepada anak didiknya. 

Sebagaimana kita ketahui, bangsa ini adalah bangsa besar, penduduknya masuk dalam lima terbesar di dunia, serta kekayaan alamnya melimpah. Tetapi pertanyaannya adalah, kenapa masih banyak orang miskin, menganggur, termasuk jutaan pengangguran terdidik, bahkan sarjana? Mengapa Jepang, Korea Selatan dan Malaysia yang pada tahun 1957 hampir setara tingkat kemajuan ekonominya dengan Indonesia, tetapi setelah 50 tahun, pada tahun 2007, begitu jauh melampui kemajuan Indonesia?

Barangkali salah satu buku Who Prospers: How Culture Values Shape Ekonomic and Political Success karya Lawrence E. Harisson bisa menjadi salah satu referensi kita untuk memahami keindonesiaan kita sekarang. Lawrence, setelah melakukan studi empiris di berbagai negara, menyimpulkan bahwa kunci kemajuan suatu bangsa bukanlah kekayaan sumber daya alamnya, tetapi sumber daya manusianya. Juga bukan ditentukan oleh sistem politiknya, tetapi terutama ditentukan oleh nilai budaya (values) dan perilaku serta karakter positifnya.

Melalui studi di berbagai negara ditemukan bahwa kemajuan bangsa sangat terkait dengan nilai-nilai positif dan perilaku, serta karakter yang mendukung kemajuan. Antara lain adalah tingginya saling percaya dan kemampuan saling bekerjasama antarwarga (radius of trust), kepatuhan pada hukum, kehidupan sederhana pejabat, dan penghargaan tinggi pada pekerjaan. Kemajuan seseorang bukan berupa harapan pribadi, tetapi kewajiban kepada Pencipta dan bentuk pengabdian pada orangtua dan leluhur, serta keturunan. Kerja keras juga dinilai sebagai kehormatan dan akan mendapatkan balasan mulia. Pendidikan dinilai sebagai kunci utama untuk kemajuan. Disiplin, kebiasaan menabung dan pantang menyerah merupakan bagian dari nilai dan sikap hidup.

Realitas yang ditunjukkan Lawrence itu memperlihatkan betapa peran guru sangat dominan untuk melakukan perubahan mindset kepada anak didik, agar mereka kelak menjadi generasi yang memiliki radius of trust antarmereka. 

Maka, upaya peningkatan kapasitas guru wajib dilakukan, termasuk salah satunya lewat karya tulis berupa buku yang hari ini hadir di hadapan pembaca. Tentu ditunggu karya-karya yang lain dari banyak penulis yang lain, karena jutaan guru di negeri ini sangat membutuhkan referensi yang sangat banyak.

Akhirnya, saya sampaikan selamat atas terbitnya buku ini. Semoga Allah Swt mencatatnya sebagai amal ibadah kepada-Nya.[]

Jakarta, 9 Juni 2011
Marwah Daud Ibrahim
Pengurus Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Cendekiawan yang peduli pendidikan, salah satu penggagas dan peng­gerak tim Bangun Karakter Bangsa. Juga penggagas dan pendiri Training MHMMD (Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan) yang juga mentrainer ribuan guru di samping sejumlah BUMN, Pemda dan Pemprov di Indonesia.

Dalam buku "Mindset Pembelajaran: 10 Langkah Mendidik Siswa secara Kreatif dan Humanis" - Yusron Aminullah - Penerbit Buku Nuansa Cendekia

Prof. Jakob Sumardjo: Kesaksian Seorang Penyair

Buku “Puisi dan Bulu Kuduk” ini berisi sekumpulan tulisan penyair Acep Zamzam Noor tentang ke­pe­nyairannya, tentang makna puisi, tentang teman-teman seangkatannya, yang pada dasarnya merupakan kesaksian otentik Acep terhadap hubungan diri dan zamannya. Seorang penyair yang “berumah dan beranak pinak dalam timbunan sajak”, seperti diungkapka Chairil Anwar, akhirnya akan tiba pada pertanyaan mendasar: puisi ini sebenarnya apa?

Dalam tulisan “Puisi dan Bulu Kuduk” (yang dijadikan judul bukunya ini) Acep Zamzam Noor mencoba mendefinisikan puisi itu apa? Begitu pula dalam beberapa tulisannya yang lain dia ada menyinggung persoalan yang amat esensial bagi orang yang memilih hidup sebagai penyair. Dan jawabannya tentulah spekulatif karena pertanyaan itu sebenarnya pertanyaan filosofis. Semua itu tergantung dari pengalaman hidup kepenyairannya dan sistem pengetahuan yang diperolehnya.

Tetapi Acep telah memulainya di jalan yang benar, yakni sejak awal telah mempertanyakan puisi itu apa. Modalnya hanya bertanya. Hidup itu pertanyaan. Dan karena hidup ini pertanyaan, dan bukan jawaban, maka kegelisahan Acep bertebaran di berbagai puisi yang ditulisnya. Sedangkan jawaban-jawaban yang dicoba dituturkan dalam tulisan-tulisannya ini sebenarnya “terpaksa” dia lakukan karena ada pihak yang memintanya. Dan jawaban-jawaban ini mungkin sekali akan berubah di kelak kemudian hari karena kerja berpuisi dan berkesenian apa pun merupakan kerja bertanya, jawaban yang menimbulkan pertanyaan berikutnya, dan seterusnya sampai kita tidak berada di dunia ini dan mungkin tak diperlukan pertanyaan lagi.

Pertanyaan itu adalah tentang makna. Untuk apa hidup ini? Mengapa aku dilahirkan di sini? Mengapa ada puisi? Mengapa puisi begitu dahsyat dapat membuat pembacanya ekstase? Bulu kuduk berdiri seperti tiba-tiba melihat hantu di seberang meja tulisnya? Mengapa batu seperti itu? Apakah batu punya makna? Tuhan itu sebenarnya apa atau siapa? Kebermaknaan segala sesuatu ditanyakan manusia, ditanyakan Acep Zamzam, karena ingin hidupnya bukan sekadar menjalani hidup ini, tetapi percaya bahwa ada makna di sebalik semua yang dijalani dan dialaminya. Ya, itu semua apa?

Saya akan meminjam kearifan lokal Sunda untuk menjawab pertanyaan dengan sejuta jawabannya ini agar kita kira-kira dapat mendudukkan persoalan agak lebih tertata. Seperti dapat disimak dari mitos-mitos metafisika Sunda, Jawa, Minang, dan mungkin ada beberapa lagi, keberadaan ini, atau Ada ini, being ini, ada awalnya. Yang berawal ini (dan tak tahu kapan berakhir) nyatanya didahului oleh yang “tak berawal” yang di Sunda disebut awang-awang uwung-uwung, di Jawa disebut awang uwung suwung, dan di Minang sisebut awang gumawang (Tambo Minangkabau). Oleh beberapa penafsir modern sering disebut Kosong, yang memang dapat menimbulkan berbagai bantahan. Apalagi kalau disebut Tiada atau Tidak Ada.

Di Sunda modern disebut euweuh dan teu aya. Mereka yang belajar filsafat Barat tentu akan tersenyum sinis membaca istilah-istilah ini, kecuali beberapa filosof Barat yang tersisih seperti Plotinus, Spinoza, Whitehead.
Bagaimana nalar suwung itu menjadi Ada yang kita kenal ini. Suwung dalam bahasa Jawa bisa dikatakan pada saat rumah sedang ditinggalkan penghuninya. Ketika saya berkunjung ke rumah Acep Zamzam Noor, rumahnya terkunci, digedor sekeras-kerasnya tetap tidak ada bunyi apa pun. Jadi rumah ini sedang ditinggalkan penghuninya yang mungkin sejam akan kembali atau sore hari akan kembali atau dua hari kemudian akan kembali. Tidak tahu.

Dalam kearifan nenek moyang orang Sunda, dari awang-uwungan itu muncul keluar tiga wujud batara, yakni Batara Keresa (Kehendak), Batara Kawasa (Kekuatan, tenaga, Energi) dan Batara Bima Mahakarana (karana = sebab, penyebab, pi­kiran). Ketiga batara menyatu menjadi Batara Tunggal, dan dari dialah muncul keberadaan yang kita kenal dan kita pertanyakan ini.

Di Jawa dari suwung tadi muncul suara gentra dan sebentuk telur purba. Telur itu menjelma menjadi tiga realitas, yakni waktu (siang dan malam, atau terang dan gelap), ruang (bumi dan langit), serta pelaku (Batara Manik atau Batara Guru serta Batara Maya atau Batara Semar, Ismaya).
Di Tambo Minangkabau dikisahka adanya awang guma­wang. “Tatkala itu awal belum akhir pun belum, bumi dan langit pun belum. Semesta sekalian pun belum. Loh dan kalam pun belum. Arasy dan Kursy pun belum”, begitu kata tambo ini. Lalu terbitlah Cahaya, maka jadilah Nur Muhammad. Dan dari sanalah Ada ini menjadi ada.

Kalau kita perhatikan, ketiga mitologi yang mengandung metafisika dalam filsafat modern kita ini, jelas terlihat esensi ketiganya, yakni adanya Ada ini berasal dari awang uwung melalui wujud ketiga yang keluar muncul begita saja dari yang Tiada tadi. Nalarnya adalah: Tiada – mediasi – Ada. Tiga Batara, manikmaya, Nur Muhammad adalah mediasi dari Tiada, Kosong, menjadi ada yang kita kenal ini.

Dan kunci dari misteri Kosong menjadi Ada adalah ungkapan-ungkapan di dalam mitos-mitos itu sendiri. Dalam mitos Sunda alam Kosong tadi menyebutkan dirinya sama dengan Batara Tunggal, Manikmaya, atau Nur Muhammad. Ucapa Sunda berbunyi: Aku (ada) adalah Dia sebagai aku. Ungkapan Jawa: keadaan-Ku (kosong) adalah keadaanmu, dan keadaanmu adalah keadaan-Ku. Di Minang bunyinya juga mirip: Aku (kosong) dan engkau pun (ada) tiada lain daripada aku (Ana anta wa anta ana).

Jelaslah sudah  bahwa pertanyaan “ada ini sesungguhnya apa”?, dijelaskan oleh nenek moyang Indonesia bahwa makna Ada ini bersumber dari Kosong tadi itu, yang tak berawal tak berakhir, yang tak pernah kita dapat memasuki dan dapat kita kenal, sesuatu yang asing dan tak ada padanannya di dunia ini, yang kalau berhasil muncul di dunia (puisi) ini membikin Acep Zamzam Noor bulu kuduknya berdiri. Kaget. Terpesona. Mengejutkan. Ekstase. Bikin mabuk berhari-hari memikirkan sepotong sajak Goenawan Mohamad.

Bukankah mitos-mitos metafisik tadi gambaran manusia juga? Manusia itu pada dasarnya “Ada” dan sekaligus “Tiada”, atau “Isi” dan sekaligus “Kosong”. Puisi “Di beranda ini…” dari Goenawan adalah “isi”, wujud, ada, sehingga kita dapat menangkapnya. Tetapi puisi itu juga bagian dari “kosong”, tidak ada, yang oleh Goenawan, entah bagaimana cara dan prosesnya, menjadi ada. Dan puisi itu mengagetkan, menohok pikiran dan batin kita, membawa kita melayang tak menentu ke alam imajinasi yang tak putus-putus ujung pangkalnya, karena dia sama dengan Kosong tadi itu.

Pada dasarnya setiap penyair dan manusia kreatif berlomba-lomba bergerak mendekati batas Kosong tadi dari dunia Isi kita ini. Mediasinya tak lain adalah wujud-wujud Ada ini sendiri. Jadi prosesnya terbalik dengan mitos metafisika tadi. Kalau orang berhasil “masuk” alam Kosong tadi, maka ia membawanya ke dunia Isi ini dan menuturkannya menurut gaya, teknik, tradisi, yang dia akrabi.

Sekarang coba kita terapkan pada Acep Zamzam Noor sen­diri. Kita mengenal Acep sebagai penyair setelah kita membaca seluruh hasil karyanya. Sehabis pembacaan, kita akan berucap, wah begitulah Acep itu. Tetapi benarkah yang Anda kira itu? Apakah Acep memang sama dengan semua puisinya? Dirinya apakah sama dengan karyanya?

Acep itu juga mengandung Kosong tadi itu. Acep itu kemungkinan dan tidak kemungkinan sekaligus seperti kita semua ini. Acep adalah Acep (yang terlihat) sekaligus bukan Acep (kosong). Namun karena kita hanya mampu melihat apa yang “Ada” saja, dan tak lain berdasarkan apa yang terlihat. Tetapi seperti ucapan purba bahwa “Aku pun tiada lain daripada engkau”, maka “isi” itu pun tiada lain daripada “Kosong” yang sulit dirumuskan tadi itu.

Acep, Goenawan, Sapardi, adalah mediasi Kosong dan Isi, Tiada dan Ada, melalui yang Ada itu kita mengenal yang Tidak Ada itu. Dan apa yang Tidak Ada alias awang-uwung alias Kosong itu tak lain adalah puisi mereka. Di balik tiap penyair itu ada Kosong yang sama dan satu, milik semua ciptaan. Masalahnya bagaimana kita dapat mencapai batas keduanya.

Marilah kita dengarkan orang Barat. Ahli matematika Hadamard dan novelis Pearl S. Buck, sama-sama mengatakan, bahwa kebermaknaan adalah soal sistem hubungan. Sesuatu itu bermakna kalau kita dapat membangun sistem hubungan esensial segala sesuatu yang kita ketahui. Sistem hubungan berarti ada berbagai unsur esensial yang membentuk hubungan sebab akibat tertentu sehingga merupakan satu kesatuan bermakna. Konsep ini mirip Batara Tunggal Baduy yang terdiri dari Batara Keresa, Batara Kawasa dan Batara Mahakarana yang menyatu dalam membentuk sistem hubungan tertentu, misalnya keresa (kehendak), perbuatan (kawasa), serta karana (pikiran), tetapi juga bisa hubungan kuasa-kehendak-pikiran.
Mediasi penyair atau manusia kreatif tak lain adalah seni memperoleh sistem hubungan esensial terhadap segala sesuatu yang menjadi cara berpikirnya, untuk terhubungkan dengan alam kosong pada dirinya, sehingga muncul makna yang bikin bulu kuduk berdiri itu.

Penyair, pemikir, metafisikawan, musyid, memiliki cara kerja yang sama dalam memperoleh sesuatu dari kekosongan dirinya itu. Peristiwa ini tidak dapat direncanakan, hanya dapat dicari, ditanyakan, sampai tiba saat aha erlebnis atau eureka  yang berbunyi: nah inilah jawabannya! Hal ini juga diungkapkan oleh Acep Zamzam Noor dalam proses kreatifnya. Penyair itu orang yang beruntung, orang yang tercerahkan, orang yang dapat “wangsit” modern, berupa cahaya bohlam dalam balon komik Tintin. Bagaimanapun hasrat Anda sebesar gunung untuk menjadi otentik, kalau Anda tidak punya pertanyaan esensial tentang keberadaan ini, dan tidak kerja keras untuk menemukan jalan ke arah kekosongan diri Anda, maka Anda hanya akan menjadi penyair kerajinan belaka. Puisi bukan soal bentuk dan teknik berpuisi, tetapi menemukan kebenaran puitik yang tak terduga oleh Anda sendiri, sehingga bulu kuduk yang berdiri pertama kali ya hanya Anda sendiri. Inilah yang dikatakan kitab apokrif Mesir abad pertama:

Biarkan dia yang mencari terus tetap mencari
Kalau dia sudah menemukan
Akan dialaminya berbagai kesulitan
Tapi dalam kesulitan itulah
Semua hal akan dibukakan padanya.

Hubungan itu bukan hubungan benda-benda, tetapi hubungan esensi kerja beda. Daun gugur menggambarkan manusia yang mati, adalah hubungan cara kerja esensialnya. Daun itu tanggal dari pohon, nyawa itu tanggal dari badan. Itu sudah amat klise. Tetapi bagaimana Anda bisa melihat hubungan antara kursi dengan janda? Kalau Anda mampu menunjukkan adanya hubungan esensial keduanya, maka bulu kuduk Anda akan berdiri. Dalam bangunan puisi hubungan-hubungan asensial semacam itu rumit karena unsur-unsur yang dipakai bukan hanya dua.

Begitulah “teori Bulu Kuduk” Acep Zamzam Noor ini kalau saya tafsirkan. Sebagai penyair yang penting ia menulis puisi yang membuat bulu kuduknya berdiri, begitu pula bulu kuduk para pembacanya. Teori bulu kuduk itu hanya awal puisi yang otentik, setelah itu Anda akan diperkaya oleh jalinan makna di dalamnya yang semakin rumit pula, namun semuanya merupakan kesatuan kemasukakalan. Penyair tak lain adalah pemikir, karena dia penanya. Tetapi Acep bukanlah seorang pemikir teori, sehingga kewajiban kaum akademisi yang harus menjelaskan teorinya itu! Kerja penyair tak laian adalah berteori melalui puisi-puisinya yang bikin pembacanya ekstase tadi itu.

Acep Zamzam Noor sekarang sudah menjadi orang tua semacam Saini K.M. pada waktu Acep muda remaja. Pengganti Saini ya Acep Zamzam dengan membentuk komunitas sastranya di Tasikmalaya. Sudah waktunya pula Acep seperti Saini K.M. yang sembari menulis puisi mengajar kaum muda memasuki dunia puisi yang “baik dan benar” menurut pandangan ke­penyairannya. Generasi Acep belajar dari generasi Saini K.M. yang rata-rata menguasai literatur sastra dunia oleh penguasaan bahasa Inggris mereka. Generasi Saini, Goenawan, Taufik, Sapardi adalah reaksi atas generasi pertama puisi Indonesia, yakni Chairil Anwar dan Amir Hamzah, yang mereka ini sangat menguasai bahasa Belanda. Apakah generasi Pos-Acep ini justru akan kembali pada bahasa dan budaya bahasa mereka?

Estafet puisi Indonesia ini mungkin tidak berlangsung secara linier tetapi secara non-linier, yakni justru kembali pada akar-akar sistem hubungan esensial yang dimiliki oleh kearifan lokal bahasa masing-masing. Kasus Godi Suwarna mungkin dapat menunjukkan gejala itu.
Bagaimana Anda dapat nerumuskan Kosong itu apa, puisi itu apa, hidup itu apa, seni itu apa? Acep Zamzam Noor tidak, saya pun tidak. Puisi itu awang-awang uwung-uwungan.[]

Bandung, 6 Mei 2011
Prof. Jakob Sumardjo, dalam buku "Puisi dan Bulu Kuduk: Perihal Apresiasi dan Proses Kreatif" - Acep Zamzam Noor - Penerbit Buku Nuansa Cendekia

Jumat, 21 November 2014

Joseph Schacht: Legislasi Nabi Muhammad Merupakan Satu Inovasi Dalam Konteks Hukum Arab

Nabi Muhammad telah hadir di Makkah sebagai pembaharu agama dan ia menentang keras ketika masyarakatnya yang musyrik itu menganggapnya sebagai tukang ramal (kâhin). Karena otoritas pribadinya, Nabi Muhammad diundang ke Madinah pada tahun 622 M untuk menjadi penengah dalam pertikaian kesukuan, dan sebagai nabi ia menjadi penguasa pembuat undang-undang dari satu masyarakat baru dengan berbasis pada keagamaan, komunitas Muslim yang pada saat yang sama dimaksudkan untuk menggantikan masyarakat kesukuan Arab. 

Penolakannya terhadap karakter seorang kâhin sekaligus juga adalah penolakan kepada para penengah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat musyrik Arab di mana para penengah itu seringkali adalah seorang kâhin (Qs an-Nisâ’: 4). Namun demikian, ketika dirinya bertindak sebagai seorang hakim dalam komunitasnya, Nabi Muhammad terus menjalankannya dalam fungsinya sebagai seorang hakam, dan al-Quran telah menentukan pengangkatan seorang hakam dari masing-masing keluarga suami dan istri dalam kasus perselisihan perkawinan (al-Quran Surat an-Nisâ’: 35).

Ketika al-Quran berbicara tentang aktivitas yudisial Nabi (Surat an-Nisâ’: 105) kata kerja hakama dan derivasinya digunakan, sedangkan kata kerja qadhâ, dari sini istilah qâdhî diturunkan, dalam al-Quran tidak selalu menunjuk kepada keputusan seorang hakim, tetapi merujuk pada sebuah peraturan yang berlaku, baik dari Allah maupun dari Nabi (hal itu juga terjadi dalam kaitannya dengan Hari Kiamat, tetapi menunjukkan sebuah pengadilan hanya dalam pengertian kiasan).

Dalam sebuah ayat, kedua kata kerja muncul bersandingan (Surat an-Nisâ’: 65): “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak akan (benar-benar) beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim (yuhakkimuka) terhadap pertikaian yang terjadi antara mereka, kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka sesuatu kebenaran terhadap putusanmu yang kamu berikan (qadhaita) dan mereka menerima sepenuhnya.”

Di sini, kata kerja yang pertama merujuk kepada aspek arbitrasi dari aktivitas Nabi, sedangkan yang kedua menekankan karakter otoritatif dari keputusannya. Contoh yang terpisah ini merupakan indikasi pertama dari munculnya gagasan baru dan berwatak islami mengenai kekuasaan pengadilan. Nabi Muhammad benar-benar memberikan nilai penting yang paling besar untuk diangkat oleh orang yang beriman sebagai seorang hakam dalam pertikaian mereka, walaupun penegasan al-Quran tentang hal ini menunjukkan bahwa kebebasan klasik dalam memilih seorang hakam masih tetap berlaku.

Nabi Muhammad juga menyediakan bagi dirinya hak hakam zaman dahulu untuk menolak dalam bertindak. (Qs an-Nisâ’: 59; Qs al-Mâ’idah:  42; dan Qs al-Furqân: 48). Akan tetapi, posisinya sebagai seorang nabi—kembali pada tahap-tahap sesudah karirnya di Madinah dengan kekuatan politik dan militer yang sangat besar—memberinya otoritas yang sangat besar lebih daripada sekadar sebagai seorang juru penengah. Ia menjadi seorang nabi pemberi hukum (Prophet-Lawgiver), bahkan memegang kekuasaan yang hampir absolut bukan di dalam tetapi di luar sistem hukum yang sudah ada. Otoritasnya bagi orang beriman tidak dalam sesuatu yang bersifat hukum, tetapi dalam sesuatu yang bersifat keagamaan, sementara bagi orang-orang munafik otoritasnya dipandang sebagai sesuatu yang bersifat politis.

Legislasi Nabi Muhammad juga merupakan satu inovasi dalam konteks hukum Arab. Secara umum, Nabi Muhammad hampir tidak mempunyai alasan untuk mengganti hukum adat yang sudah ada. Tujuannya sebagai rasul bukanlah menciptakan sebuah sistem hukum yang baru, tetapi mengajarkan kepada manusia bagaimana cara berbuat, apa yang harus dikerjakan, dan apa yang harus dihindari agar lolos dalam perhitungan pada Hari Kiamat dan masuk surga. Inilah alasan mengapa Islam, pada umumnya, dan Hukum Islam, pada khususnya, merupakan sebuah sistem kewajiban yang di dalamnya tercakup kewajiban ritual, hukum, dan moral di atas pijakan yang sama, serta membawa mereka semua di bawah otoritas perintah agama yang sama.

Apakah ukuran keagamaan dan etika telah diterapkan secara menyeluruh pada semua aspek perilaku manusia, dan apakah standar itu telah diikuti secara konsisten dalam praktik, tidak akan ada ruang dan kebutuhan terhadap sistem hukum dalam arti sempit. Sebenarnya ini adalah cita-cita asli Nabi Muhammad; gambarannya: penekanan yang berulang-ulang tentang memberi maaf dan dalam pengertian yang luas, ditemukan dalam al-Quran,1 dan konsekuensinya meninggalkan hak-hak dibicarakan secara detail dalam Hukum Islam. Akan tetapi, pada akhirnya, Nabi harus menyerahkan diri terhadap prinsip keagamaan dan etika yang diterapkan pada institusi hukum sebagaimana yang ditemukannya.

Dengan demikian, kita temukan dalam al-Quran perintah untuk menengahi secara adil, tidak memberikan uang suap, memberikan bukti yang benar, dan memberikan timbangan dan ukuran yang benar. Kontrak-kontrak dilindungi oleh pemerintah agar dalam melaksanakannya disertai dengan bukti tertulis, menghadirkan saksi, dan untuk memberikan sekuritas (rahn, sebagai sebuah jaminan dan bukti material) ketika tidak terdapat juru tulis yang ada—semua praktik pra-Islam yang diabsahkan al-Quran—atau secara umum, dengan perintah untuk memenuhi kontrak seorang, dan khususnya untuk mengembalikan sebuah kepercayaan atau titipan kepada pemiliknya. Perintah ini merupakan tipikal sikap etik al-Quran terhadap persoalan hukum.

Bahkan, larangan terhadap permainan tertentu, seperti perjudian (maisir) dan mengambil bunga (ribâ), walaupun secara langsung berkaitan dengan tipe khusus transaksi hukum, tidak dimaksudkan untuk menentukan aturan hukum yang mengatur bentuk dan akibat dari transaksi itu, tetapi untuk membangun norma moral di mana transaksi itu diperbolehkan atau dilarang. Gagasan mengenai transaksi seperti itu—jika disimpulkan bertentangan dengan larangan—tidak sah dan tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban, karena tidak tampak dalam al-Quran. Hal ini dikembalikan kepada Hukum Islam untuk membangun—di samping skala kualifikasi-kualifikasi keagamaan—skala kedua dari validitas hukum.

Sikap al-Quran yang sama mengatur hukum peperangan dan harta rampasan juga semua hukum keluarga yang kompleks. Hukum peperangan dan harta rampasan utamanya berkaitan dengan persoalan untuk menentukan musuh yang harus atau boleh diperangi, bagaimana harta rampasan didistribusikan (dalam kerangka umum aturan yang ditentukan hukum adat pra-Islam), dan bagaimana tawanan diperlakukan. Hukum keluarga dibahas lengkap dalam al-Quran sekalipun dalam beberapa paragraf yang terpencar-pencar (sebagian besar dalam Qs al-Baqarah dan Qs an-Niâ’). Di sini, tekanan utama diberikan pada persoalan bagaimana seseorang sebaiknya bertindak terhadap wanita dan anak-anak, anak yatim, sanak keluarga, orang yang menjadi tanggungan, dan budak-budak. Akibat hukum dari satu perbuatan yang sesuai dengan aturan-aturan itu tidak disebutkan dan sebenarnya secara umum sudah jelas. Sebuah perkawinan yang sah dan perceraian; tetapi akibat hukum dari sebuah tindakan yang bertentangan dengan aturan itu, persoalan pertanggungjawaban sipil, hampir tidak dipertimbangkan.

Pernyataan-pernyataan teknis hukum yang memberikan konsekuensi hukum terhadap serangkaian fakta atau tindakan tertentu yang relevan sepenuhnya tidak ada, sejauh menyangkut hukum obligasi dan keluarga. Pernyataan-pernyataan itu ada, dan memang sangat diperlukan, dalam bidang hukum pidana. Adalah mudah untuk memahami bahwa legislasi normatif al-Quran memasukkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran hukum, tetapi sanksi itu pada dasarnya bersifat moral dan sekali waktu saja bersifat hukum pidana; larangan adalah elemen yang mendasar, ketetapan yang berkenaan dengan hukuman adalah peraturan tentang tindakan baik bagi para pelaku dari kekuasaan negara Islam yang baru didirikan, atau untuk korban dan keluarga terdekatnya dalam masalah-masalah tuntutan pembalasan.

Larangan mencuri kiranya cukup dikenal, dan hanya hukumannya yang ditentukan (Qs al-Mâ’idah: 38); sebaliknya meminum minuman keras (Qs al-Baqarah: 219; Qs an-Nisâ’: 43; Qs al-Mâ’idah: 90), judi, dan mengambil riba dilarang tanpa hukuman yang ditetapkan (kalau tidak, maka hukuman di neraka).5 Ada beberapa ketetapan berkenaan dengan tuntutan pembalasan dan uang darah (diyah al-qatl), pencurian, perzinaan, dan tuduhan palsu berzina, prosedur dalam dua kasus ini, dan perampokan.

Alasan-alasan bagi legislasi al-Quran dalam masalah ini, pertama-tama, adalah ketidakpuasan pada kondisi yang ada, keinginan untuk meningkatkan posisi kaum wanita, anak-anak yatim, dan orang-orang lemah pada umumnya, untuk membatasi kelalaian moral seks dan untuk memperkuat ikatan perkawinan, dan kadang-kadang untuk mengurangi pertumpahan darah, untuk membatasi praktik balas dendam pribadi dan menuntut balas; larangan main judi, dihubungkan dengan penyembahan berhala, larangan meminum minuman keras, dan larangan mengambil riba barangkali merupakan pemutusan yang paling jelas dengan standar perilaku orang-orang Arab zaman kuno.

Larangan mengambil riba tidak diragukan lagi telah dipengaruhi oleh pengenalan Muhammad dengan doktrin dan praktik orang Yahudi di Madinah dan bukan oleh reaksi terlebih dahulu di pihaknya terhadap praktik perdagangan orang-orang Makkah; dan perkembangan prinsip tuntutan pembalasan atas pembunuhan yang menyebabkan kerusakan fisik (Qs 4: 45), didasarkan pada apa yang Muhammad sudah pelajari dari bangsa Yahudi tentang Perjanjian Lama (Exed XXI 23-25); Lev XXV. 19f: Dent XIX 21). Di samping itu sudah menjadi keharusan untuk berhadapan dengan masalah-masalah baru yang muncul dalam bidang hukum keluarga, hukum penuntutan balas, dan hukum peperangan dikarenakan tujuan utama politik Nabi—bubarnya organisasi kesukuan dan penciptaan sebuah komunitas kaum Mukmin sebagai gantinya.

Hal ini cukup jelas khususnya dalam dorongan poligami oleh al-Quran (Qs 4: 3). Adalah mungkin bahwa beberapa pertikaian yang membuat kebutuhan tersebut semakin jelas.8 Kebutuhan yang kedua adalah legislasi al-Quran tentang waris, sebuah bidang yang jauh dilepaskan dari prinsip-prinsip moral dan sangat berhubungan dengan pemberian hak-hak individu. Bahkan di sini, legislasi al-Quran secara kronologis memulai dari menganjurkan aturan-aturan etis dalam memberikan peraturan-peraturan yang jelas tentang bagaimana cara memulai berkenaan dengan kepemilikan orang yang telah meninggal, dan bahkan dalam pembuatan peraturan yang paling final memelihara unsur-unsur etis dalam kecenderungan untuk memberikan bagian harta dalam warisan kepada orang-orang yang tidak mempunyai klaim atau hak untuk menerima waris berdasarkan hukum adat lama.

Ciri-ciri legislasi al-Quran ini dilestarikan dalam hukum Islam, dan sikap hukum semata-mata, yang mengakibatkan konsekuensi hukum terhadap tindakan-tindakan yang relevan, sering diganti oleh kecenderungan untuk menimpakan standar-standar etis kepada orang-orang yang beriman.

Joseph Schacht, dalam buku, "Pengantar Hukum Islam" Penerbit Buku Nuansa Cendekia

Dewi Lestari: Editor Adalah Penangkal Kejenuhan Para Penulis

Banyak orang beranggapan bahwa saya adalah penulis yang tidak suka diedit. Sebetulnya itu opini yang keliru. Saya amat, sangat, suka diedit. Semakin teliti dan semakin banyak ke­lemahan yang ditunjukkan, saya semakin puas. Karena itu ber­arti saya berkesempatan belajar lebih banyak, dan itu juga berarti editor saya men­jalankan tugas­nya dengan baik. 

Editor adalah orang pertama yang kita beri kepercayaan untuk melihat manuskrip kita dari sudut pandang segar. Jika kita sudah terlalu dekat (dan jenuh) dengan tulisan kita sendiri, maka editorlah yang menjadi penangkal kedekatan dan kejenuhan itu. 

Dengan kemampuan mereka, akan bermunculanlah berbagai kesalahan, ketidaktepatan, dan “bopeng-bopeng” lain yang sudah tak bisa dilihat oleh para penulis dari karya yang (tadinya) sudah dianggap sempurna itu. Editor dan pengalaman diedit, jika dilakukan secara benar dan berkualitas, adalah pembelajaran yang sangat berharga bagi penulis. 

Bagi pembaca buku saya yang ekstra teliti hingga mem­baca lembar keterangan cetak baris demi baris, pasti tak asing dengan nama Hermawan Aksan. Nama beliau tercantum sebagai editor tak hanya satu kali di buku saya, melainkan berkali-kali. Walaupun tidak ada ikatan kontrak eksklusif antara saya dan Hermawan, bisa dibilang beliau adalah bagian dari tim “tak-tetap-tapi-nyatanya-hampir-selalu-tetap” dari produksi buku-buku saya, sebagaimana desainer sampul maupun penata isi buku langganan saya yang orangnya itu-itu lagi dari judul ke judul. 

Tentu saja bukan tanpa alasan. Mereka adalah orang yang saya anggap sudah “mengerti” diri saya sebagai penulis, baik secara kreatif maupun teknis. Mereka juga orang-orang yang sangat kompeten dalam bidangnya. Dari mereka, saya pun banyak belajar tentang berbagai macam aspek produksi buku.

Hermawan Aksan memiliki kapabilitas dan posisi yang unik karena beliau aktif sebagai editor sekaligus penulis, bahkan tipe produktif. Dengan kemampuan gandanya, saya tak heran jika buku semacam ini lahir dari tangan Hermawan Aksan. Jika penulis bekerja berdasarkan prinsip kebebasan—bebas berimajinasi, berfantasi, dsb—maka seorang editor bekerja dalam jalur serta pakem yang lebih pasti dan baku. Meski terdengar bertentangan, menurut saya justru penguasaan kedua hal itu adalah skill yang sangat menguntungkan.

Saya terjun ke dalam dunia menulis dengan latar belakang otodidak. Otodidak di sini artinya antara lain: saya tidak punya portofolio penulisan sebelum buku pertama saya (tidak diketahui pernah menang lomba, karyanya tidak pernah diketahui dimuat di media massa), saya tidak datang dari pendidikan formal sastra (titelnya Sarjana Ilmu Politik), saya tidak besar di komunitas sastra (bukan penongkrong acara-acara pembacaan puisi, tidak terdaftar di komunitas budaya apa pun). 

Saya menjadi penulis semata-mata karena kecintaan saya pada menulis dan kenekatan saya untuk mewujudkannya dalam buku. Karena itulah, saya cenderung gagap jika ditanya teori tentang menulis. Dan yang paling gelap adalah jika ditanya: “Apa rahasia membuat buku best-seller?”

Banyak buku beredar di luar sana mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan (yang bagi saya) misterius tadi. Namun, jujur, kebanyakan tidak terlalu memuaskan. Berdasarkan pengalaman saya berkecimpung dalam dunia kepenulisan selama sepuluh tahun terakhir, saya percaya apa yang menjadikan sebuah buku laris dan apa yang membuat imajinasi seorang penulis memikat dan membius pembacanya adalah sesuatu yang tidak bisa dijabarkan secara pasti dan baku hukumnya. Kita bisa saja berspekulasi. Namun yang terpenting dari menulis adalah keberanian menulis itu sendiri. Termasuk di dalamnya, keberanian untuk menghadapi kegagalan sekaligus me­nangani keberhasilan. 

Kendati demikian, sama seperti Hermawan, saya pun percaya bahwa proses menulis bisa terakselerasi dengan adanya panduan, insight, semacam “aturan main” dasar yang sekiranya akan memudahkan seseorang ketika mulai serius menulis. Bahkan, suka duka seorang penulis pun bisa banyak mencerahkan, karena bagaimanapun ada tantangan serupa (tapi tak sama) yang dihadapi semua penulis saat memulai proses kreatifnya. 

Buku Hermawan Aksan ini amat bisa membantu. Berbekal pengalamannya sebagai editor, penulis fiksi, penulis nonfiksi, penulis untuk media massa, bahkan menulis dalam Bahasa Sunda, memberikannya warna pengetahuan yang kaya. Di mana pun tahap Anda saat ini dalam menulis—profesional, amatir, amatir menuju profesional, atau sekadar hanya ingin tahu—buku ini akan memberikan banyak gambaran, masukan, sekaligus pengalaman riil yang bermanfaat. 

Tak terhitung seringnya saya ditanya trik dan tips dalam menulis. Namun, karena keterbatasan waktu dan keterbatasan media (kalau ditanya lewat Twitter yang cuma bisa muat 140 karakter, bagaimana mungkin saya menjabarkan jawaban dari pertanyaan “Gimana sih caranya mulai nulis?”), tidak semua bisa saya respons. 

Namun, kini saya punya cara praktis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yakni: “Bacalah buku Proses Kreatif Menulis Cerpen-nya Hermawan Aksan.”

Saya menyukai buku ini bukan karena Hermawan Aksan sering menjadi editor saya, melainkan buku ini ber­usaha menjawab hal-hal dasar dalam menulis tanpa janji berlebih. Realistis dan tidak muluk-muluk. Ditulis secara rapi dan lugas. Bagi saya, itu sudah lebih dari cukup.

Barangkali tidak semua pertanyaan Anda (juga saya) tentang kepenulisan akan terjawab oleh buku ini, tapi saya rasa buku ini pun tidak akan mengecewakan Anda. Lagi pula, menulis hanya bisa kita selami lewat mengalami. Jadikan buku ini sebagai persingga
han, perenungan, stimulus sejenak bagi hati dan otak, setelah itu, tutuplah dan mulailah menulis.

Dewi Lestari, dalam buku "Proses Kreatif Menulis Cerpen" Oleh: Hermawan Aksan - Penerbit Buku Nuansa Cendekia


Kamis, 20 November 2014

Karunia Allah Swt

Oleh: KH. Abdul Ghofur Maimoen

Ada akseptasi yang besar ketika Hannah, Istri Imran, diberi karunia mengandung seorang anak. Dia bernadzar mengabdikan calon putranya untuk hanya mengabdi kepada Allah di rumah-Nya.

"Rabbii innii nadzartu laka maa fii bathnii muharraraa, fataqabbal minii innaka antassamii`ul `aliim"

Wahai Tuhanku, saya nadzarkan anak yang ada di rahimku ini sebagai anak yang muharrar, yang bebas dari segala urasan di luar peribadatan kepada Engkau. Maka semoga Engkau berkenan menerimanya. Sungguh Engkau Dzat yang Maha Mendengar dan Maha  Mengetahui.

Engkau Dzat Yang Maha Mendengar atas doa hamba-Mu ini, dan Maha Mengetahui ketulusan niat hamba-Mu ini untuk mengabdikan putranya kelak hanya untuk beribadah kepada Engkau. Semoga Engkau berkenan mengabulkannya.

Dia tak sempat berfikir bahwa mungkin saja yang lahir nanti bukan seorang putra tapi seorang putri yang dalam pengertian masyarakat saat itu tak diizinkan untuk mengabdi di Rumah Allah. Dia manusia biasa seperti lainnya, diciptakan oleh Allah SWT dengan segala keterbatasan. "wakhuliqal insaanu dha`iifaa". Dia telah alpa seperti mendahului taqdir. Karena itu ketika ternyata yang lahir adalah bayi perempuan ia seperti menyesali diri tak bisa mengabdikannya sebagai anak yang muharrar.

Namun sesungguhnya dia tak bermaksud seperti itu. Dia hanya terdorong oleh niatnya yang begitu tulus untuk mengabdikan calon putranya. Dan niat seorang hamba seringkali lebih bermakna ketimbang amal yang lahir dari niat tersebut. Allah pun sungguh mengetahui akan hal ini. Dia ingin memberi pelajaran kepada Hannah, bukan saja agar tidak mendahului takdir lagi, tetapi bahwa pilihan Allah selalu lebih baik daripada pilihan manusia. Selalu ada hikmah yang besar dibalik pilihan-Nya.

"`asaa an takrahuu syaian wahuwa khairullakum"

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu"

Ketika dengan nada sedih Hannah mengeluh:

"Rabbii innii wadha`tuhaa untsaa"

"Saya melahirkan bayi perempuan wahai Tuhanku .."

Allah menjawabnya:

"walaisadzdzakaru kal'untsa"

Wahai Hannah, ( anak) laki-laki (yang kamu harapkan) tak seperti anak perempuan (yang Aku berikan ini).

Anak perempuan yang engkau lahirkan ini jauh lebih baik dan mulia ketimbang anak laki-laki yang engkau nanti-nantikan.

Cerita berikutnya semua kita tahu. Bayi perempuan itu adalah Bunda Maryam, Iabu dri Nabi Isa al-Masih.

Keramat dan Fitnah












Oleh: KH. Abdul Ghofur Maimoen

ونبلوكم بالشر والخير فتنة

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” QS. Al-Anbiya/ 21: 35.

Ada sejumlah orang yang tetap kukuh imannya meski mendapat cobaan kesusahan, tapi boleh jadi mereka akan menipis imannya tatkala mendapatkan musibah kenikmatan; Saat mereka hidup pas-pasan ibadah dan amal salehnya luar biasa, kemudian saat dia mendapatkan rizki melimpah tiba-tiba saja hidupnya keluar dari jalur yang benar. Sebaliknya, terdapat sejumlah orang yang jalan hidupnya lurus dan istiqamah tatkala dalam kecukupan, dan segera menurun kualitas keimanannya begitu mendapatkans musibah.

Dan bagi banyak orang yang sangat saleh, seringkali ujian itu justru terletak pada perjumpaannya dengan anugerah-anugerah Allah yang luar biasa. Itulah kenapa banyak para nabi dan guru-guru waskita menghindarinya demi menjauh dari fitnah-fitnah yang boleh jadi tak tertanggungkan.
Kaum Quraisy pernah melakukan “studi banding” antara Muhammad dan dua nabi besar sebelumnya, Musa dan Isa. Mereka mendatangi Yahudi, dan mengajukan pertanyaan:

“Dengan apa Musa mengenalkan diri sebagai Nabi?”
“(Dengan) tongkatnya, dan tangannya memerak menyilaukan mata yang memandangnya” jawab Yahudi.
Lalu Quraisy mendatangi umat Nasrani.
“Bagaimana dahulu Isa?”
“Dia menyembuhkan orang buta dan penderita kusta, dia (juga) menghidupkan orang mati.”
Mereka kemudian mendatangi Muhammad yang mereka anggap sebagai manusia biasa-biasa saja. Tak ada kemukjizatan fisik atau yang kasat mata, yang menyertai kenabiannya. Oleh karena itu mereka mengajukan semacam gugatan.
“Mintalah kepada Tuhanmu agar mengubah bukit shafa menjadi bukit emas. Dan kami akan iman kepada engaku!”
“Benarkah kalian akan iman jika itu terjadi?”
 “Iya!”
Maka Nabi pun berdoa. Namun jibril segera turun menyela:
“Tuhanmu mengirimkan salam untuk dirimu. Dan Dia bertitah:”
“Jika engkau menginginkan maka bukit Shofa akan menjadi emas. Lalu siapa pun dari mereka mengufurinya maka akan Aku siksa dengan siksaan yang belum pernah Aku hukumkan kepada seorang pun dari seru sekalian alam. Dan jika engkau menginginkan maka akan Aku bukakan bagi mereka pintu-pintu taubat dan rahmat.”
Muhammad Menjawab:
“Wahai Tuhanku, (berikanlah bagi mereka) pintu taubat dan rahmat.”

Mukjizat, begitu juga karamah, adalah salah satu ujian (fitnah) terbesar. Mereka yang tak sanggup mensyukurinya akan segera merasakan akibatnya. Berkali-kali Nabi Muhammad diminta untuk mengeluarkan mukjizat alam yang kasat mata, dan berkali-kali Nabi menolak. Bagi Muhammad, alam semesta adalah mukjizat itu sendiri bagi mereka yang berakal.

إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب 
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” QS. Ali Imrah/ 3: 190.

Ada sebuah cerita tentang seseorang yang sangat dekat dengan Allah SWT. Dalam hidupnya hampir tidak pernah absen melaksanakan salat malam. Pada suatu hari dalam sebuah perjalanan, dia mengahampiri masjid untuk melaksanakan salat malam. Dia mengulurkan timba ke dalam sumur untuk mengambil air wudhu. Akan tetapi keajaiban datang, ketika timba dia angkat isinya bukan air tetapi permata.

“Subhanallah! Apa gerangan ini?”
Ia ulurkan kembali tali timba ke dalam sumur. Doanya lirih:
“Hamba menginginkan air untuk wudhu dan salat, bukan intan permata yang hanya menghalanginya dari salat dan dzikir.”

Timba dia angkat, dan kembali keajaiban itu datang. Timba berisi intan permata, bukan air.

“Wahai Tuhanku, hamba ini menginginkan air untuk wudhu dan salatnya, bukan intan permata yang menghalangi salat dan dzikir kepada Engkau” doanya kembali dengan sangat hati-hati.

Ia pun memasukkan kembali timba ke dalam sumur. Dan untuk ketiga kalinya, timba itu berisi permata ketika dia angkat. Maka doanya berkali-kali sambil mengulurkan tali:

“Belas kasihanilah hamba-Mu ini Ya Allah ..  hamba-Mu ini meminta dari Engkau air agar Engkau berkenan membimbingya beribadah dan bertahajjud.  Ia meminta pertolongan dari-Mu maka berikanlah pertolongan dengan air yang thahuur untuk berwudhu.”

Untuk kali yang ke empat ini, dia menimba air yang betul-betul jernih, yang tidak saja menyegarkan badan tetapi lebih dari itu menyegarkan batin. Dia bersuci dan menghadap kepada Tuhannya dengan sepenuh kebeningan.

Wallaahu a'lam bish-shawaab.

Mengobati Alergi Matematika

Dari survei kami terhadap beberapa siswa mengenai pelajaran matematika, diperoleh jawaban bahwa pandangan siswa terhadap mata pelajaran yang satu ini masih seperti zaman dulu. Matematika masih menjadi pelajaran yang menakutkan bagi para siswa. Mata pelajaran ini masih dianggap paling sulit, ditambah dengan guru pengajarnya yang kadang-kadang tidak kenal kompromi sehingga diberi julukan killer.  

Sebagian siswa menderita alergi terhadap matematika. Setiap kali mereka akan menghadapi mata pelajaran ini, muncul keengganan dan ketidaksukaan dalam hati mereka. Kondisi ini membuat mereka semakin sulit memahami matematika. Itu karena anggapan mereka tentang matematika akan tertanam dalam pikiran mereka. Akibatnya, karena sudah tertanam dalam pikiran mereka bahwa matematika itu sulit, maka matematika akan benar-benar menjadi sulit bagi mereka. Oleh karena itu, ada pepatah dalam bahasa Inggris: You are what you think: kamu adalah menurut apa yang kamu pikirkan.

Kalau kita tahu arti sebenarnya matematika, maka tidak semestinya muncul anggapan di atas. Matematika berasal dari bahasa Yunani yaitu mathematikos yang berarti ‘tekun belajar’. Jadi, mempelajari matematika harus tekun. Agar bisa tekun, tentu harus ada minat dan cinta. Maka tumbuhkanlah minat dan cinta pada matematika, niscaya pelajaran ini akan menjadi mudah. 

Matrik dirancang untuk menumbuhkan minat dan cinta siswa pada matematika, sehingga dapat mengobati alergi terhadap pelajaran ini. Dalam hal ini, ada tiga ramuan. Ramuan pertama, menggunakan metode kreatif dalam menyelesaikan soal-soal: siswa dipandu untuk menjawab soal-soal secara menyenangkan. Ramuan kedua, menggunakan step by step  system: siswa diajak mengerjakan soal-soal sesuai kemampuannya. Ramuan ketiga, disesuaikan dengan kurikulum sekolah: sangat membantu dalam meningkatkan kemampuan akademis siswa di sekolah.

Semoga buku yang ada di hadapan Anda ini dapat  menginspirasi Anda untuk jatuh cinta dan menyenangi mate­matika. Selanjutnya, Anda akan menyadari bahwa ternyata matematika itu mudah dan menyenangkan. Selamat membaca dan menikmati isi buku ini.  

Dadi Supriadi, dalam buku "Matrik: Menjadikan Matematika Lebih Mudah dan Menyenangkan" Penerbit Buku Nuansa Cendekia

Prof. Dr. Emil Salim: Tiga Tantangan Besar Dihadapi Badan Pusat Statistik

Orang pintar bisa “memanipulasi” dengan statistik. Benarkah itu? Dapatkah data statistik menerangkan realita secara obyektif? Data dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga statistik resmi yang metodologi dan etikanya dikawal oleh lembaga dunia PBB (United Nations). Konsep yang dipakai menggunakan standar PBB agar data yang dihasilkan dapat dibandingkan antarnegara.

Dalam menerbitkan data statistik, Badan Pusat Statistik menghadapi tiga tantangan besar. Pertama, meningkatkan kualitas data yang dihasilkan agar memiliki akurasi tinggi, mudah diakses oleh publik, relevan dengan persoalan-persoalan aktual, terjaga timeliness-nya dan komprehensif. 
Kedua, lembaga statistik harus secara terus-menerus memberi pengetahuan kepada publik tentang cara membaca data secara benar. Publisitas kepada publik oleh BPS tentang cara membaca data statistik sangatlah penting agar bisa diterima obyektivitasnya.

Ketiga, metode penyajian data perlu lebih komprehensif. Ketika disajikan sebagai laporan resmi, kualitasnya akan naik bila dilengkapi dengan sisi-sisi yang lebih utuh sehingga penyajiannya lebih menyeluruh. Bila BPS menyajikan angka pertumbuhan ekonomi dan kinerja ekonomi secara sektoral maka rasa ingin tahu digugah untuk mengkaji apakah dalam sektor tersebut pertumbuhan hanya berasal dari sekelompok jenis usaha tertentu ataukah diperoleh dari semua jenis aktivitas usaha.

Data statistik juga perlu diperkaya dengan dimensi spasial di mana pertumbuhan itu terjadi. Apakah akumulasi nilai tambah hanya berasal dari Pulau Jawa dan Sumatera? Bagaimanakah kontribusi Indonesia bagian timur terhadap angka pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) nasional? Angka pertumbuhan ekonomi nasional yang dilengkapi data statistik spasialnya akan lebih berguna untuk memahami pola pembangunan yang mengukuhkan integrasi bangsa. 

Di balik data statistik, ada ulasan penulis, Saudara Jousairi, tentang ramalan produksi padi melalui angka—angka statistik secara aggregative menggambarkan pertumbuhan sektor pertanian. Di balik data statistik pertanian ini, terungkap pula bahwa hampir 80 persen petani di Jawa ternyata adalah petani gurem, dan terdapat disparitas besar penguasaan lahan. Maka ada kemungkinan bahwa pertumbuhan yang terjadi berasal dari 10 atau 15 persen petani berlahan luas saja. Dengan demikian, ada keperluan mendesak untuk mengembangkan kebijakan pembangunan pertanian yang juga mencakup petani gurem yang jumlahnya besar agar turut serta mendorong peningkatan produksi dan sekaligus mengangkat kesejahteraan petani gurem. 

Buku ini memfokuskan telaahannya pada bagaimana me­mahami makna data statistik. Dengan demikian, diharapkan masyarakat terbiasa dengan data statistik. Itu karena data statistik bisa menuntun kita mengenali fakta-fakta dengan lebih baik. Dengan mengenali fakta masa kini, perkembangan masa depan bisa diperkirakan. Pada gilirannya, kegiatan pembangunan lebih ditujukan untuk menanggapi tantangan sehingga Indonesia yang lebih makmur, adil, dan hijau lestari bisa terwujud.

Prof. Dr. Emil Salim, Jakarta, 2012, dalam buku "Tangguh Dengan Statistik Dalam Membaca Realita Dunia" Penerbit Buku Nuansa Cendekia


Rabu, 19 November 2014

Remy Sylado: Membaca Buku Teoretis itu Konyol!

Tidak semua yang baik boleh dianggap bermanfaat. Tetapi saya percaya, dan karenanya saya sedang mengajak Tuan-Tuan dan Puan-Puan mau ikut percaya pada pendapat saya, bahwa buku karya Faiz Manshur Genius Menulis, Penerang Batin Para Penulis ini, selain baik juga bermanfaat.

Ketika saya bicara perkara baik dan bermanfaat, maka dengannya saya percaya telah mendapatkan dari buku ini dua sisi kekayaan khas dalam kualifikasi budaya tulis-menulis yang diberikan oleh Faiz Manshur kepada kita—yaitu saya dan mudah-mudahan juga Tuan-Tuan dan Puan-Puan—berupa pertama, kekayaan intelektual dan, kedua, kekayaan spiritual.

Saya rasa tidak perlu dibuat pelik-pelik merincikan soal apa yang saya maksudkan dengan kedua kekayaan tersebut, sebab saya percaya pula, jika Tuan-tuan dan Puan-Puan menyimaknya pagina demi pagina, maka Tuan-Tuan dan Puan-Puan akan menangkap maknanya. Dasarnya, saya menganggap bahwa catatan apresiasi terhadap buku ini dengan jalan mengurai alenia demi alenia dalam paragraf demi paragraf, malah mungkin akan menambah smusis terhadap arahan Faiz Manshur yang sudah tersusun urut seperti ini.

Maksud saya, seyogianya buku ini dikatakan memberi pengetahuan yang menangkaskan akal-budi tentang dunia tulis-menulis meliputi kecendekiaan dan kesungguhan, ditopang dengan kalimat-kalimat bernas dari peta pemikiran tokoh-tokoh penting dunia yang berperan dalam sejarah kebudayaan. Pengetahuan itu dipetik, diramu, dilaraskan menjadi seperti asam di gunung dan garam di laut dan menjadi satu dalam kuali. Dan, di situlah cerdik-cendekianya Faiz Manshur memainkan perannya sebagai koki.

Oleh sebab itu, saya harus mengerti pengantar apresiasi yang saya buat ini bukanlah catatan sok-tahu, sok-kritis, sok-nyekolah, seperti yang biasa kita temukan dalam sejumlah buku: fiksi ataupun non-fiksi. Saya justru harus sebolehnya menghindar dari kemungkinan tertawan dalam kebiasaan itu, supaya Tuan-Tuan dan Puan-Puan tidak direcoki oleh pendapat saya, dan sebaliknya dengan ini, saya mempersilakan Tuan-Tuan dan Puan-Puan langsung mencamkan pendapat Faiz Manshur: pendapat dari, katakanlah, pendapat-pendapat yang telah mewujud sebagai bacaan mustahak dari dua kekayaan yang saya sebut di atas.

Tetapi, juga penting saya katakan di sini, bahwa buku ini menarik, sebab buku ini bukanlah model wacana pengajaran teoretis yang disajikan kepada pembaca untuk menjadikan pembaca sebagai penulis: sejauh hakikatnya toh buku ini merupakan tuntunan dan arahan untuk menjadi penulis yang mustaid.

Buku ini memang tidak seperti kebanyakan buku tuntunan atau arahan menulis yang ditulis oleh kelas “guru desa” dari fakultas-fakultas ilmu pendidikan yang sesak oleh teori-teori, mbulet, se­hing­ga menakutkan untuk diejawantah dalam praktik. Buku-buku pelajaran menulis yang ditulis oleh kelas guru desa itu, lebih banyak melahirkan kembali kelas tukang yang hanya sekadar pandai belaka—pandai dalam acuan yang muradif dengan “pandai besi”, “pandai batu”, “pandai kayu”—tidak cerdik-cendekia sebagai pelaku praktik budaya tulis-menulis yang karenanya bisa diharapkan memberi dua kekayaan tersebut.

Berjalan seiring dengan ikhtiar Faiz Manshur dalam buku ini, saya ingin mengatakan, bahwa isyarat cerdik-cendekia yang ditakar atas diri seorang pelaku budaya tulis menulis, halnya memang kudu dihubungkan dengan kemestiannya memberi dua kekayaan khas tadi yang menjaminnya menjadi baik dan bermanfaat. Modalnya dibentuk dari (1) bakat, (2) kemauan, (3) kesungguhan.

Adapun buku-buku yang tidak memiliki isyarat seperti yang dise­but ini, yaitu buku-buku yang maunya menuntun dan mengarahkan orang sebagai, katakanlah, tukang yang pandai dengan perangkat teori-teori yang jelimet, tetapi konon akademis, hasilnya lebih pada memuaskan diri sendiri dalam mana barangkali penulisnya orgasme sendiri pula, dan bukannya menjadi bacaan yang sanggup merangsang dan mendorong pembaca untuk berkeinginan dan berkemauan bertindak dalam praktik.

Kiranya membaca buku-buku jenis teoretis seperti itu sama konyolnya berharap berhasil dari membaca buku-buku tuntunan atau arahan tertentu atas, misalnya, cara berenang, cara berpidato, cara bermain piano, pendeknya cara ini-itu yang karuan memusingkan, sehingga hasilnya dapat diterka:  membuat pembacanya malah gagal menjadi perenang, orator, pianis, dan seterusnya.

Maka, sekali lagi, yang mustahak dalam kerja budaya tulis-menulis—tentang seseorang yang menjadi penulis—adalah mempersoalkan dengan betul ketiga akar antara bakat, kemauan, dan kesungguhan. Hal itu terwakili dalam buku Faiz Manshur ini.

Jelas, Faiz Manshur mengerti sekali, kepada siapa buku ini ditulis. Yaitu, tak lain adalah kepada orang-orang yang berani memilih budaya tulis-menulis sebagai beroep: mereka yang tergolong intelektual dan menulis sebagai mata-pencarian yang dengannya niscaya memberi kepuasan spiritual bagi dirinya dan pembacanya, tetapi sekaligus juga, dalam kenyataannya, tidak banyak di antara mereka yang memahami seluk-beluknya, antara lain karena barangkali tidak hirau atau juga alpa, sehingga perlu diingatkan, yaitu membaca buku ini agar memperoleh—dalam istilah Faiz Manshur—penerang batin. Kalau begitu, syabaslah.

Dalam kaitan menempatkan budaya tulis-menulis sebagai beroep atau pekerjaan yang menghasilkan pendapatan, Faiz Manshur mengu­tip kata-kata Gertrude Stein, “Yang membedakan manusia dari binatang adalah uang.” Mestinya bagus juga kata-kata Sun Yat Sen, bapak bangsa Cina modern, “Yang membedakan manusia dengan hewan bukan sandang-pangan-papan tetapi buku.”

Pada bagian penutup catatan saya ini, akhirnya saya ingin bilang kepada Tuan-Tuan dan Puan-Puan, bahwa buku Faiz Manshur ini harus ditaruh di perpustakaan rumah Tuan-Tuan dan Puan-Puan supaya Tuan-Tuan dan Puan-Puan berbeda dengan binatang. Punten.

Remy Sylado, dalam buku "Genius Menulis; Penerang Batin Para Penulis" Penerbit Buku Nuansa Cendekia

Ir. H. E. Herman Khaeron, M.Si.: Eksploitasi Sumber Daya Alam Secara Berlebihan Merusak Keseimbangan Alam

Pada saat ini, kita dihadapkan pada permasalahan krisis lingkungan global. Bahkan akhir-akhir ini, krisis tersebut menjadi semakin parah, namun di sisi lain, tidak ada upaya yang berarti untuk memulihkanya. Ini akibat dari keserakahan manusia dalam menguasai alam untuk kepentingan pribadinya sendiri secara egoistik. Di samping itu, pertambahan penduduk bumi yang semakin meningkat, mau tak mau, turut memperparah krisis yang terjadi.

Krisis lingkungan yang demikian parah tentu menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan umat manusia di bumi. Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan tanpa pemulihan yang semestinya menyebabkan rusaknya keseimbangan alam. Tanah, air, dan udara menjadi tercemar, yang pada akhirnya mengancam kehidupan di bumi. Bila hal ini dibiarkan terjadi terus-menerus, maka tidak mustahil pada suatu saat nanti, umat manusia akan punah karena bumi tempat mereka hidup sudah tidak layak untuk ditempati.
Hal ini semestinya menjadi perhatian semua pihak, tak terkecuali kaum agamawan. Perlu kita renungkan bersama, ajaran agama yang seperti apa yang telah kita kembangkan selama ini sehingga minim sekali perhatian kita terhadap krisis ekologi dan perusakan lingkungan. Kita yakin bahwa ajaran agama yang kita anut pasti benar, termasuk ajaran yang menyangkut masalah lingkungan. Maka patut dipertanyakan, faktor apa sesungguhnya yang menyebab­kan kita menyimpang dari ajaran agama tersebut. Dan sudah tiba saatnya bagi kita untuk mengkaji dan mengembangkan pandangan dan ajaran agama yang diperlukan untuk memecahkan masalah ekologi.

Di samping itu, dalam mengatasi krisis lingkungan, kita mesti punya visi dan pemikiran baru yang bersifat global dan berorientasi ke masa depan. Dan percayalah bahwa wawasan keagamaan dan penghayatan keruhanian dapat memperkaya visi dan pemahaman kita tentang kehidupan dan lingkungan hidup kita.
Dalam upaya mewujudkan harapan ini, tidaklah bijak bila kita hanya mempercayakan pada kalangan pegiat lingkungan, baik dalam lingkup lokal, regional, maupun global. Lebih dari itu, usaha ini juga mesti menjadi pijakan dalam pengambilan keputusan politik, baik lokal, nasional, regional, maupun dan global. Hal ini pun harus menjadi tugas pemerintah di semua level kepemimpinan agar kebijakan mengenai masalah lingkungan dapat dikaitkan dengan semua kegiatan produksi dan konsumsi ekonomis yang ditunjang oleh perundang-undangan. Politik lingkungan glo­bal membutuhkan kerjasama antarnegara, organisasi pemerintah dan non-pemerintah, yang melampaui batas-batas dan kepentingan nasional.

Dalam hal ini, kaum agamawan mesti bekerjasama atau melakukan tekanan terhadap para politisi untuk melindungi lingkungan, karena kaum politisi terkadang tidak berdaya melawan kepen­tingan bisnis dan kepentingan-kepentingan lain yang sempit. Agama harus berpihak pada kepentingan global dan karenanya tidak boleh bersikap acuh terhadap politik, karena melalui politiklah bisa ditetapkan kebijakan lingkungan yang mengarah ke masa depan kemanusiaan dan nasib bumi kita ini. Dalam mengatasi masalah lingkungan, agama dan politik harus seiring-sejalan dan bergandengan tangan untuk memulihkan kembali keseim­bangan ekologi dan menjaga kelestarian alam.

Salah satu tugas utama agama-agama terkait dengan masalah lingkungan adalah merumuskan gagasan tentang etika lingkungan global yang juga merupakan etika lingkungan dan etika global tentang lingkungan. Etika global bukanlah campuran berbagai ajaran agama dan tidak dimaksudkan untuk menghilangkan norma-norma dan nilai-nilai tradisi dalam setiap agama.
Etika global merupakan kesepakatan bersama yang dicapai oleh agama-agama untuk dihor­mati dan dilaksanakan oleh setiap penganut agama yang memiliki kepedulian terhadap masalah perdamaian dan keadilan di dunia. Etika global juga bisa berupa beberapa perilaku mendasar yang diakui oleh semua agama. Oleh karena itu, etika global harus diberlakukan melalui dialog dan kerjasama antarpemeluk agama.
Etika seperti ini setidaknya menampilkan tiga permasalahan yang perlu ditangani secara global, yakni:

Hubungan antara manusia dan alam.
Hubungan Utara-Selatan.
Hubungan antara generasi sekarang dan generasi mendatang.

Hubungan antara manusia dan alam harus diubah dari hubungan yang bersifat dominasi menjadi hubungan yang mendamaikan, yang saling menopang dengan lebih mencintai alam. Pendekatan non-violence atau tanpa kekerasan dalam ajaran berbagai agama hendaklah diberlakukan terhadap makhluk lain, tidak hanya kepada manusia. Dengan demikian, setiap pembicaraan tentang hak-hak asasi manusia harus dikaitkan pula dengan hak-hak asasi alam dan nakhluk-makhluk lain.

Dunia Utara telah terlibat dalam perusakan alam melalui industrialisasi dan kolonialisisasi. Sebaliknya, dunia Selatan telah menjadi korban dari kebijakan seperti itu yang mengakibatkan mereka menjadi miskin. Beberapa negara Selatan telah mencoba untuk membangun ekonomi mereka, dan memang ada yang berhasil. Namun, kebanyakan mereka tetap miskin seperti semula walaupun mereka telah mengusahakannya dengan penuh kesungguhan. Pertambahan penduduk yang berlebihan juga membawa akibat buruk bagi pembangunan. Jurang perbedaan ekonomi dan sosial semakin dalam dan ketidaksamaan akses pada kekayaan dunia telah mengakibatkan ketidakadilan. Negara-negara Selatan yang miskin mengalami penderitaan ganda karena adanya eksploitasi sumber alam yang mereka miliki oleh negara-negara Utara dan juga karena peng­gunaan konsumsi yang mereka lakukan sendiri secara tidak bertanggungjawab terhadap sumber-sumber alam yang ada di sekeliling mereka.

Itu sebabnya, hubungan Utara-Selatan terkait erat dengan masalah lingkungan. Maka pemenuhan kebutuhan dasar manusia harus tercapai oleh semua penduduk bumi melalui kerjasama Utara­-Selatan. Keduanya harus mempunyai kepedulian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan pemeliharaan lingkungan yang dilaksanakan secara terpadu. Inilah arti yang sebenarnya dari “pembangunan yang berkelanjutan”.
Sementara itu, hubungan baru antara generasi masa kini dan generasi masa mendatang harus ditandai dengan sikap hidup baru dari generasi sekarang yang tidak merusak lingkungan dan mempunyai visi baru untuk mewariskan ling­kungan yang bersih dan berimbang kepada generasi mendatang. Visi baru ini bukan hanya menyangkut keinginan untuk memberikan cinta kasih kepada anak-cucu yang hidup sekarang, tetapi juga kepada mereka yang akan lahir kemudian. Dengan demikian, penghematan dan pengendalian diri merupakan tugas dan etika mulia yang harus kita jalankan.

Semoga catatan-catatan berserakan dalam buku ini dapat menyadarkan kita semua akan arti dan makna terdalam dari keyakinan agama terhadap masalah lingkungan hidup yang terus dikuras dan tak terjaga kelestariannya. Penulis mohon izin dan maaf yang setulus-tulusnya kepada para pakar dan ulama/kiai yang ide-idenya penulis gunakan untuk menguatkan argumen sepanjang pembahasan ini tanpa izin dalam pengutipannya. Kepada pembaca yang budiman, sudilah kiranya memberi apresiasi dan masukan untuk penyempurnaan isi buku ini. Dan terakhir, kepada Allah jualah penulis mohon ampun atas kesalahan dan kekeliruan dalam memahami dan memaknai agama untuk kemaslahatan hidup sehari-hari penulis sendiri.

Ir. H. E. Herman Khaeron, M.Si., dalam buku "Islam, Manusia, dan Lingkungan Hidup" Penerbit Buku Nuansa Cendekia


Dwiki Dharmawan: Musik Sebagai Cerminan Intelektualitas Seseorang

Kemampuan bermusik adalah cerminan intelektualitas seseorang ataupun ke­lompok. Musik sebagai bagian dari seni pertunjukan di mana pun berada selalu berkembang sesuai dengan kepentingan masyarakat pendukungnya.

Bila kita memandang dari paradigma seni musik, kiranya generasi muda lebih mampu menembus sekat-sekat yang selama ini mengebiri wawasan bermusiknya. Kita bisa melihat bahwa saat ini dunia musik lebih dikuasai oleh industri pop atau budaya pop.

Indonesia sebagai negeri yang memiliki beragam budaya adalah sumber inspirasi tiada habis bagi dunia, termasuk dalam musik. Dalam perkembangannya ke depan, musik akan terus memberikan sumbangsih bagi Indonesia agar tampil sebagai bangsa yang maju dan bermartabat.

Buku ini sangat menarik dan layak untuk dibaca. Penulisnya menguak secara tekstual dan kontekstual fenomena yang terjadi di dalam proses perkembangan musik sesuai dengan bentuk, nilai, struktur penyajian, serta aspek-aspek yang terkait dengannya.

Saya ucapkan selamat kepada Eya Grimonia, semoga terus tumbuh dengan wawasan dan ide-ide kreatif. Semoga pula karyanya yang berupa buku ini dapat menjadi khazanah pustaka musik di Indonesia.

Dwiki Dharmawan, dalam buku "Dunia Musik; Sains Musik untuk Kebaikan Hidup Penerbit Buku Nuansa Cendekia

Selasa, 18 November 2014

Philip C. Jessup: Banyak Bagian Penting dari Hukum Internasional Dikesampingkan

Sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab pendahuluan buku ini, penulis percaya bahwa pengacara internasio­nal perlu mulai melakukan pengkajian ulang yang sistematis terhadap badan tradisional dalam hukum internasional. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memulai tugasnya dalam menginisiasi kajian-kajian dan membuat rekomendasi yang bertujuan untuk “mendorong perkembangan yang progresif dalam hukum internasional dan penyusunan undang-undang” seperti yang disebutkan dalam Pasal 13 dalam Piagam PBB. Karena itu, ini bukan waktunya untuk menunda langkah-langkah awal yang bisa dilakukan.

Para negarawan perlu mendedikasikan tenaga mereka untuk merumuskan kesepakatan dalam mengendalikan senjata-senjata pemusnah yang berbahaya dan perang. Adalah tugas para peneliti untuk menelaah dasar-dasar pembentukan hukum internasional modern. Para pengacara internasional pada masa lalu sudah pernah melakukannya melalui kajian yang berturut-turut di Institut de Droit International, dan telah berhasil menyusun perumusan kesepakatan yang telah disetujui di Konferensi Perdamaian Hague pada 1899 dan 1907. Sir Cecil Hurst, dalam pidato presidensialnya di hadapan Groius Society pada 1946, telah secara efektif meminta diadakan kajian ilmiah non-formal sebagai cara yang tepat dalam mengembangkan hukum internasional.

Kajian tersebut diajukan untuk dipertimbangkan dan dikritik oleh mereka yang tertarik pada hukum internasional modern, yang merupakan sebuah pengantar terhadap aspek-aspek hukum internasional modern. Banyak bagian dari hukum internasional dihapuskan dari pengkajian ulang masa kini, dan banyak bidang penting dalam organisasi atau administrasi internasional dikesampingkan. Prinsip dan aturan hukum internasional tersebut telah diikutsertakan dan tampaknya menawarkan medium yang bermanfaat untuk menguji hipotesis di mana kajian itu berlangsung.

Penulis tidak mungkin melakukan pendekatan yang terpecah-pecah ini tanpa kolaborasi dengan Profesor Leo Gross dan Profesor Kurt Wilk. Banyak penelitian dasar dilakukan oleh keduanya dalam waktu yang terbatas.

Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Almeric Christian di Columbia University School of Law yang telah memeriksa kutipan-kutipan dan mengklarifikasi poin-poin hukum, dan kepada Marvin Wilson dari Columbia University, Jurusan Hukum Publik dan Pemerintah untuk kerja kerasnya dalam verifikasi akhir dan persiapan cetak.

Penulis menggunakan bagian-bagian tulisan penulis sebelumnya, di mana referensi diletakkan pada catatan kaki secara singkat. American Journal of International Law dan Political Science Quarterly telah mengizinkan penulis untuk menggunakan beberapa bagian dari artikel-artikel yang pernah mereka terbitkan. Substansi beberapa bab pernah diterbitkan dalam beberapa artikel, namun dalam buku ini telah diubah dan dipadukan. Bab II berkaitan dengan sebuah artikel di Michigan Law Review edisi Februari 1947; Bab IV berkaitan dengan sebuah artikel di Columbia Law Review edisi Desember 1946; Bab VII berkaitan dengan sebuah artikel di Americal Journal of International Law edisi April 1947; dan Bab VIII berkaitan dengan sebuah artikel di Foreign Affairs edisi Oktober 1946.

Penulis telah mengambil banyak materi dari International Law Chiefly as Interpreted and Applied by the United States yang ditulis oleh Hyde dan dari International Law, yang ditulis oleh Oppenheim, edisi Lauterpacht dalam merefleksi hukum yang berlaku. Penulis mengucapkan terimakasih pada Hakim Manley O. Hudson, bukan hanya untuk buku-buku dan artikel-artikelnya, tetapi juga untuk hasil yang luar biasa atas kerjasama yang baik, yang bersumber dari inspirasi dan pencapaian beliau—buku-buku Penelitian Harvard terhadap Hukum Internasional dan Hukum Internasional Masa Depan.

Kajian ini terlaksana berkat bantuan dana dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial Columbia University, dan karenanya penulis ­mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

New York, Maret 1947    
Philip C. Jessup

A Modern Law of Nations: Pengantar Hukum Modern Antarbangsa
Diterjemahkan dari Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations: An Introduction (New York: The Maemillan Company, 1952) Penerbit Buku Nuansa Cendekia


Acep Zamzam Noor: Saya Merasa Asyik Menulis Sesuatu Di Luar Puisi

Ketika mulai belajar menulis rasanya saya tak punya keinginan atau niat untuk menulis sesuatu di luar puisi. Cukup lama saya berusaha menahan diri untuk tidak menulis esei, cerpen, novel, roman atau lainnya. Hanya ingin menulis puisi saja secara total, begitu tekad saya waktu itu. Mungkin karena secara bersamaan saya juga mendalami senirupa, jadi saya merasa cukup dengan dua genre kesenian untuk digeluti. Toh untuk yang dua ini saja dibutuhkan energi yang besar, mental yang tangguh serta konsentrasi yang tinggi.

Alhamdulillah, sampai saya menyelesaikan kuliah, tak ada satu pun cerpen yang saya tulis, apalagi novel atau roman. Tapi ada satu dua esei yang sempat muncul di koran, itu pun karena permintaan teman-teman pelukis agar pamerannya diresensi. Setelah menikah dan punya anak, barulah saya menulis esei, baik mengenai sastra maupun senirupa. Kebetulan Moh. Ridlo Eisy (redaktur Pikiran Rakyat) dan Suyatna Anirun (redaktur Bandung Pos) mendorong saya untuk sering menulis di korannya, mungkin agar ada pemasukan mengingat kondisi saya yang tidak pernah mendapat gaji dari negara (padahal sebagai rakyat yang memilih kesenian sebagai medan perjuangan saya telah bekerja ekstra keras dan berpikir ekstra serius hampir 24 jam setiap harinya). Saya sangat berterimakasih pada kedua redaktur senior yang baik hati ini.

Aktivitas saya menulis esei tak lama kemudian meredup dan berhenti seiring mulai terjualnya lukisan-lukisan saya pada awal 1990-an. Tidak meledak memang, namun lumayan lancar untuk sekadar menghidupi keluarga dan kesenian. Dengan tidak direpotkan mencari uang dari menulis di koran-koran, saya pun kembali khusyuk melukis dan menulis puisi hingga sakit ambeien saya kerap kambuh. Pada akhir 1991 saya berangkat ke Italia, dan entah apa sebabnya di sana saya tertarik lagi menulis esei (meskipun dalam bentuk catatan harian atau surat) yang kadang saya kirim ke teman-teman di tanah air.

Lama-lama saya merasa asyik juga menulis sesuatu di luar puisi, meski yang saya tulis kadang tidak jelas juntrungannya. Dan sepulang dari Italia pada akhir 1993, saya seperti “dipaksa” untuk terus menulis sesuatu di luar puisi tersebut, terutama karena banyak pihak yang meminta saya menjadi narasumber untuk diskusi, seminar, workshop atau apa pun, baik untuk lingkungan sanggar,  komunitas, sekolah, kampus, ormas, lembaga swadaya, pesantren atau instansi pemerintah. Selain meminta untuk berbicara, biasanya mereka juga menuntut tulisan sebagai kertas kerja yang akan dibagikan kepada peserta.

Sebagai seorang yang intuitif tentu saja saya menulis dengan cara saya sendiri, yang mungkin tidak ilmiah dan terkesan sekenanya. Apakah yang saya tulis itu esei, artikel, makalah, kertas kerja, dongeng atau pidato menjadi tidak jelas benar. Bahkan jika kebetulan peserta diskusinya banyak dari kalangan sarjana seperti S-1, S-2, S-3, S-4 dan seterusnya, biasanya dengan sengaja saya hanya mendongeng saja. Undangan menjadi narasumber tidak semuanya untuk urusan sastra, kebanyakan justru yang berkenaan dengan masalah sosial, budaya, politik, pendidikan bahkan agama. Namun apa pun temanya, cara saya menulis tetap berdasarkan bagaimana enaknya saja.

Belakangan saya merasa menulis esei sama nikmatnya dengan puisi, mungkin karena menulisnya sama-sama menggunakan hati (bukan catatan kaki). Hanya saja, jika puisi saya tulis murni karena dorongan pribadi, sedangkan esei lebih karena permintaan pihak lain. Dengan begitu, saya jadi merasa berutang pada pihak-pihak yang selama ini suka mengundang atau bahkan memaksa saya. Tanpa mereka, mungkin saya tidak akan pernah punya koleksi esei yang jika sekarang dijadikan buku bisa untuk beberapa judul.

Esei-esei yang terkumpul dalam Puisi dan Bulu Kuduk ini khusus yang berhubungan dengan puisi, terutama yang ada kaitannya dengan apresiasi dan proses kreatif. Esei-esei ini  hampir semuanya pernah disiarkan, baik termuat pada media massa (koran, majalah atau jurnal) maupun berupa kertas kerja pada diskusi, seminar atau workshop dengan publik yang beragam, mulai dari siswa sekolah dasar sampai guru besar yang gelarnya berjejer-jejer itu. Beberapa di antaranya merupakan kata pengantar atau kata penutup sebuah buku. O ya, dibanding versi awal ketika pertama kali disiarkan, esei-esei
dalam buku ini mengalami sedikit perubahan baik isi maupun judul.
Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada Maman S. Mahayana, kritikus sastra yang serius serta berdedikasi tinggi dari UI. Beliaulah orang yang pertama kali menyarankan agar saya mengumpulkan esei-esei yang ditulis dengan santai dan tanpa beban ini. “Teori bulu kudukmu itu perlu diterbitkan biar para akademisi mendapat pencerahan. T.S. Eliot juga menerbitkan teori-teorinya sendiri tentang puisi,” katanya pada suatu kesempatan di Jambi, pertengahan 2008. Waktu itu dengan setengah bercanda saya sempat mempermasalahkan namanya yang kurang cocok sebagai kritikus sastra, tapi lebih pas sebagai pemain sepakbola. “Jika diganti menjadi M.S. Mahayana mungkin akan lebih berwibawa dan mengingatkan kita pada T.S. Eliot, W.B. Yeats, W.H. Auden atau H.B. Jassin, tapi kalau Maman ingatan kita akan langsung ke pemain Persib,” kata saya.

Ucapan terimakasih saya sampaikan juga pada Taufan Hidayat, Mathori A Elwa dan terutama Faiz Manshur (editor) serta Andy Yoes (desainer) dari Penerbit Nuansa Cendekia yang antusias menggarap buku yang sebenarnya biasa-biasa saja ini. Lalu secara khusus saya ingin mengucapkan hal yang sama pada Ahmad Syubbanuddin Alwy, ketua Dewan Kesenian Cirebon,  yang telah meminjamkan salah satu ruangan yang nyaman di kantornya untuk saya tempati beberapa lama guna memilih, mengedit serta merevisi esei-esei ini. “Saya menganggap residen di sini seperti International Writing Program di Iowa University, atau semacam Fulbright Schoolar Honorary Fellow in Writing di Cornell University, atau sejenis Writing in Residence di Heinrich-Boll-Haus, Langenbroich. Di sini juga saya membayangkan diri sebagai peneliti tamu pada International Institute for Asian Studies (IIAS) di Leiden University serta dosen paruh waktu pada Seminar für Orientalische Sprache (SOS) di Bonn University,” kata saya sedikit berkelakar.

Kelakar tersebut ternyata ditanggapi sangat serius oleh Alwy. Dengan semangat, ia langsung menelpon  sejumlah penyair dari berbagai penjuru tanah air dan mengundangnya untuk tinggal selama tiga sampai lima minggu di kantornya. Selain berkarya, penyair yang diundang berkewajiban memberikan workshop kepada siswa-siswa serta guru-guru bahasa dan sastra sebagai timbal-balik dari konsumsi yang akan disuguhkannya setiap hari. Untuk lebih menarik dan membikin penasaran mereka yang akan diundang, saya mengusulkan agar program residen tersebut dibagi menjadi dua kategori. Yang pertama, Cirebon Creative Writing in Residence untuk para penyair abangan, dan kedua Kanoman Schoolar Honorary Fellowship for Religious Poetry untuk para penyair santri. Alwy setuju dengan usul saya, bahkan ia menambahkan bahwa khusus penyair abangan sesekali akan dibawa berkaraoke di Fantasy, sementara penyair santri akan diajak berziarah ke makan Sunan Gunung Jati.

Tidak lupa pada teman-teman di Sanggar Sastra Tasik, Komunitas Azan, Komunitas Malaikat, Komunitas Cermin, Kulawarga Galuh Budaya dan Majelis Sastra Bandung, baik yang puisi-puisinya sudah mulai bagus maupun yang masih berproses mencari bentuk, saya ingin mengucapkan terimakasih juga. Saya merasa teman-teman tersebut telah ikut memberi inspirasi yang luar biasa pada apa yang saya tulis selama ini, tentu dengan caranya masing-masing. Akhirnya, selamat membaca untuk semua.[]

Acep Zamzam Noor dalam buku "Puisi dan Bulu Kuduk: Perihal Apresiasi dan Proses Kreatif" Penerbit Buku Nuansa Cendekia