Ketika mulai belajar menulis rasanya saya tak punya keinginan atau niat untuk menulis sesuatu di luar puisi. Cukup lama saya berusaha menahan diri untuk tidak menulis esei, cerpen, novel, roman atau lainnya. Hanya ingin menulis puisi saja secara total, begitu tekad saya waktu itu. Mungkin karena secara bersamaan saya juga mendalami senirupa, jadi saya merasa cukup dengan dua genre kesenian untuk digeluti. Toh untuk yang dua ini saja dibutuhkan energi yang besar, mental yang tangguh serta konsentrasi yang tinggi.
Alhamdulillah, sampai saya menyelesaikan kuliah, tak ada satu pun cerpen yang saya tulis, apalagi novel atau roman. Tapi ada satu dua esei yang sempat muncul di koran, itu pun karena permintaan teman-teman pelukis agar pamerannya diresensi. Setelah menikah dan punya anak, barulah saya menulis esei, baik mengenai sastra maupun senirupa. Kebetulan Moh. Ridlo Eisy (redaktur Pikiran Rakyat) dan Suyatna Anirun (redaktur Bandung Pos) mendorong saya untuk sering menulis di korannya, mungkin agar ada pemasukan mengingat kondisi saya yang tidak pernah mendapat gaji dari negara (padahal sebagai rakyat yang memilih kesenian sebagai medan perjuangan saya telah bekerja ekstra keras dan berpikir ekstra serius hampir 24 jam setiap harinya). Saya sangat berterimakasih pada kedua redaktur senior yang baik hati ini.
Aktivitas saya menulis esei tak lama kemudian meredup dan berhenti seiring mulai terjualnya lukisan-lukisan saya pada awal 1990-an. Tidak meledak memang, namun lumayan lancar untuk sekadar menghidupi keluarga dan kesenian. Dengan tidak direpotkan mencari uang dari menulis di koran-koran, saya pun kembali khusyuk melukis dan menulis puisi hingga sakit ambeien saya kerap kambuh. Pada akhir 1991 saya berangkat ke Italia, dan entah apa sebabnya di sana saya tertarik lagi menulis esei (meskipun dalam bentuk catatan harian atau surat) yang kadang saya kirim ke teman-teman di tanah air.
Lama-lama saya merasa asyik juga menulis sesuatu di luar puisi, meski yang saya tulis kadang tidak jelas juntrungannya. Dan sepulang dari Italia pada akhir 1993, saya seperti “dipaksa” untuk terus menulis sesuatu di luar puisi tersebut, terutama karena banyak pihak yang meminta saya menjadi narasumber untuk diskusi, seminar, workshop atau apa pun, baik untuk lingkungan sanggar, komunitas, sekolah, kampus, ormas, lembaga swadaya, pesantren atau instansi pemerintah. Selain meminta untuk berbicara, biasanya mereka juga menuntut tulisan sebagai kertas kerja yang akan dibagikan kepada peserta.
Sebagai seorang yang intuitif tentu saja saya menulis dengan cara saya sendiri, yang mungkin tidak ilmiah dan terkesan sekenanya. Apakah yang saya tulis itu esei, artikel, makalah, kertas kerja, dongeng atau pidato menjadi tidak jelas benar. Bahkan jika kebetulan peserta diskusinya banyak dari kalangan sarjana seperti S-1, S-2, S-3, S-4 dan seterusnya, biasanya dengan sengaja saya hanya mendongeng saja. Undangan menjadi narasumber tidak semuanya untuk urusan sastra, kebanyakan justru yang berkenaan dengan masalah sosial, budaya, politik, pendidikan bahkan agama. Namun apa pun temanya, cara saya menulis tetap berdasarkan bagaimana enaknya saja.
Belakangan saya merasa menulis esei sama nikmatnya dengan puisi, mungkin karena menulisnya sama-sama menggunakan hati (bukan catatan kaki). Hanya saja, jika puisi saya tulis murni karena dorongan pribadi, sedangkan esei lebih karena permintaan pihak lain. Dengan begitu, saya jadi merasa berutang pada pihak-pihak yang selama ini suka mengundang atau bahkan memaksa saya. Tanpa mereka, mungkin saya tidak akan pernah punya koleksi esei yang jika sekarang dijadikan buku bisa untuk beberapa judul.
Esei-esei yang terkumpul dalam Puisi dan Bulu Kuduk ini khusus yang berhubungan dengan puisi, terutama yang ada kaitannya dengan apresiasi dan proses kreatif. Esei-esei ini hampir semuanya pernah disiarkan, baik termuat pada media massa (koran, majalah atau jurnal) maupun berupa kertas kerja pada diskusi, seminar atau workshop dengan publik yang beragam, mulai dari siswa sekolah dasar sampai guru besar yang gelarnya berjejer-jejer itu. Beberapa di antaranya merupakan kata pengantar atau kata penutup sebuah buku. O ya, dibanding versi awal ketika pertama kali disiarkan, esei-esei
dalam buku ini mengalami sedikit perubahan baik isi maupun judul.
Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada Maman S. Mahayana, kritikus sastra yang serius serta berdedikasi tinggi dari UI. Beliaulah orang yang pertama kali menyarankan agar saya mengumpulkan esei-esei yang ditulis dengan santai dan tanpa beban ini. “Teori bulu kudukmu itu perlu diterbitkan biar para akademisi mendapat pencerahan. T.S. Eliot juga menerbitkan teori-teorinya sendiri tentang puisi,” katanya pada suatu kesempatan di Jambi, pertengahan 2008. Waktu itu dengan setengah bercanda saya sempat mempermasalahkan namanya yang kurang cocok sebagai kritikus sastra, tapi lebih pas sebagai pemain sepakbola. “Jika diganti menjadi M.S. Mahayana mungkin akan lebih berwibawa dan mengingatkan kita pada T.S. Eliot, W.B. Yeats, W.H. Auden atau H.B. Jassin, tapi kalau Maman ingatan kita akan langsung ke pemain Persib,” kata saya.
Ucapan terimakasih saya sampaikan juga pada Taufan Hidayat, Mathori A Elwa dan terutama Faiz Manshur (editor) serta Andy Yoes (desainer) dari Penerbit Nuansa Cendekia yang antusias menggarap buku yang sebenarnya biasa-biasa saja ini. Lalu secara khusus saya ingin mengucapkan hal yang sama pada Ahmad Syubbanuddin Alwy, ketua Dewan Kesenian Cirebon, yang telah meminjamkan salah satu ruangan yang nyaman di kantornya untuk saya tempati beberapa lama guna memilih, mengedit serta merevisi esei-esei ini. “Saya menganggap residen di sini seperti International Writing Program di Iowa University, atau semacam Fulbright Schoolar Honorary Fellow in Writing di Cornell University, atau sejenis Writing in Residence di Heinrich-Boll-Haus, Langenbroich. Di sini juga saya membayangkan diri sebagai peneliti tamu pada International Institute for Asian Studies (IIAS) di Leiden University serta dosen paruh waktu pada Seminar für Orientalische Sprache (SOS) di Bonn University,” kata saya sedikit berkelakar.
Kelakar tersebut ternyata ditanggapi sangat serius oleh Alwy. Dengan semangat, ia langsung menelpon sejumlah penyair dari berbagai penjuru tanah air dan mengundangnya untuk tinggal selama tiga sampai lima minggu di kantornya. Selain berkarya, penyair yang diundang berkewajiban memberikan workshop kepada siswa-siswa serta guru-guru bahasa dan sastra sebagai timbal-balik dari konsumsi yang akan disuguhkannya setiap hari. Untuk lebih menarik dan membikin penasaran mereka yang akan diundang, saya mengusulkan agar program residen tersebut dibagi menjadi dua kategori. Yang pertama, Cirebon Creative Writing in Residence untuk para penyair abangan, dan kedua Kanoman Schoolar Honorary Fellowship for Religious Poetry untuk para penyair santri. Alwy setuju dengan usul saya, bahkan ia menambahkan bahwa khusus penyair abangan sesekali akan dibawa berkaraoke di Fantasy, sementara penyair santri akan diajak berziarah ke makan Sunan Gunung Jati.
Tidak lupa pada teman-teman di Sanggar Sastra Tasik, Komunitas Azan, Komunitas Malaikat, Komunitas Cermin, Kulawarga Galuh Budaya dan Majelis Sastra Bandung, baik yang puisi-puisinya sudah mulai bagus maupun yang masih berproses mencari bentuk, saya ingin mengucapkan terimakasih juga. Saya merasa teman-teman tersebut telah ikut memberi inspirasi yang luar biasa pada apa yang saya tulis selama ini, tentu dengan caranya masing-masing. Akhirnya, selamat membaca untuk semua.[]
Acep Zamzam Noor dalam buku "Puisi dan Bulu Kuduk: Perihal Apresiasi dan Proses Kreatif" Penerbit Buku Nuansa Cendekia
0 komentar:
Posting Komentar