Nabi Muhammad telah hadir di Makkah sebagai pembaharu agama dan ia menentang keras ketika masyarakatnya yang musyrik itu menganggapnya sebagai tukang ramal (kâhin). Karena otoritas pribadinya, Nabi Muhammad diundang ke Madinah pada tahun 622 M untuk menjadi penengah dalam pertikaian kesukuan, dan sebagai nabi ia menjadi penguasa pembuat undang-undang dari satu masyarakat baru dengan berbasis pada keagamaan, komunitas Muslim yang pada saat yang sama dimaksudkan untuk menggantikan masyarakat kesukuan Arab.
Penolakannya terhadap karakter seorang kâhin sekaligus juga adalah penolakan kepada para penengah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat musyrik Arab di mana para penengah itu seringkali adalah seorang kâhin (Qs an-Nisâ’: 4). Namun demikian, ketika dirinya bertindak sebagai seorang hakim dalam komunitasnya, Nabi Muhammad terus menjalankannya dalam fungsinya sebagai seorang hakam, dan al-Quran telah menentukan pengangkatan seorang hakam dari masing-masing keluarga suami dan istri dalam kasus perselisihan perkawinan (al-Quran Surat an-Nisâ’: 35).
Ketika al-Quran berbicara tentang aktivitas yudisial Nabi (Surat an-Nisâ’: 105) kata kerja hakama dan derivasinya digunakan, sedangkan kata kerja qadhâ, dari sini istilah qâdhî diturunkan, dalam al-Quran tidak selalu menunjuk kepada keputusan seorang hakim, tetapi merujuk pada sebuah peraturan yang berlaku, baik dari Allah maupun dari Nabi (hal itu juga terjadi dalam kaitannya dengan Hari Kiamat, tetapi menunjukkan sebuah pengadilan hanya dalam pengertian kiasan).
Dalam sebuah ayat, kedua kata kerja muncul bersandingan (Surat an-Nisâ’: 65): “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak akan (benar-benar) beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim (yuhakkimuka) terhadap pertikaian yang terjadi antara mereka, kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka sesuatu kebenaran terhadap putusanmu yang kamu berikan (qadhaita) dan mereka menerima sepenuhnya.”
Di sini, kata kerja yang pertama merujuk kepada aspek arbitrasi dari aktivitas Nabi, sedangkan yang kedua menekankan karakter otoritatif dari keputusannya. Contoh yang terpisah ini merupakan indikasi pertama dari munculnya gagasan baru dan berwatak islami mengenai kekuasaan pengadilan. Nabi Muhammad benar-benar memberikan nilai penting yang paling besar untuk diangkat oleh orang yang beriman sebagai seorang hakam dalam pertikaian mereka, walaupun penegasan al-Quran tentang hal ini menunjukkan bahwa kebebasan klasik dalam memilih seorang hakam masih tetap berlaku.
Nabi Muhammad juga menyediakan bagi dirinya hak hakam zaman dahulu untuk menolak dalam bertindak. (Qs an-Nisâ’: 59; Qs al-Mâ’idah: 42; dan Qs al-Furqân: 48). Akan tetapi, posisinya sebagai seorang nabi—kembali pada tahap-tahap sesudah karirnya di Madinah dengan kekuatan politik dan militer yang sangat besar—memberinya otoritas yang sangat besar lebih daripada sekadar sebagai seorang juru penengah. Ia menjadi seorang nabi pemberi hukum (Prophet-Lawgiver), bahkan memegang kekuasaan yang hampir absolut bukan di dalam tetapi di luar sistem hukum yang sudah ada. Otoritasnya bagi orang beriman tidak dalam sesuatu yang bersifat hukum, tetapi dalam sesuatu yang bersifat keagamaan, sementara bagi orang-orang munafik otoritasnya dipandang sebagai sesuatu yang bersifat politis.
Legislasi Nabi Muhammad juga merupakan satu inovasi dalam konteks hukum Arab. Secara umum, Nabi Muhammad hampir tidak mempunyai alasan untuk mengganti hukum adat yang sudah ada. Tujuannya sebagai rasul bukanlah menciptakan sebuah sistem hukum yang baru, tetapi mengajarkan kepada manusia bagaimana cara berbuat, apa yang harus dikerjakan, dan apa yang harus dihindari agar lolos dalam perhitungan pada Hari Kiamat dan masuk surga. Inilah alasan mengapa Islam, pada umumnya, dan Hukum Islam, pada khususnya, merupakan sebuah sistem kewajiban yang di dalamnya tercakup kewajiban ritual, hukum, dan moral di atas pijakan yang sama, serta membawa mereka semua di bawah otoritas perintah agama yang sama.
Apakah ukuran keagamaan dan etika telah diterapkan secara menyeluruh pada semua aspek perilaku manusia, dan apakah standar itu telah diikuti secara konsisten dalam praktik, tidak akan ada ruang dan kebutuhan terhadap sistem hukum dalam arti sempit. Sebenarnya ini adalah cita-cita asli Nabi Muhammad; gambarannya: penekanan yang berulang-ulang tentang memberi maaf dan dalam pengertian yang luas, ditemukan dalam al-Quran,1 dan konsekuensinya meninggalkan hak-hak dibicarakan secara detail dalam Hukum Islam. Akan tetapi, pada akhirnya, Nabi harus menyerahkan diri terhadap prinsip keagamaan dan etika yang diterapkan pada institusi hukum sebagaimana yang ditemukannya.
Dengan demikian, kita temukan dalam al-Quran perintah untuk menengahi secara adil, tidak memberikan uang suap, memberikan bukti yang benar, dan memberikan timbangan dan ukuran yang benar. Kontrak-kontrak dilindungi oleh pemerintah agar dalam melaksanakannya disertai dengan bukti tertulis, menghadirkan saksi, dan untuk memberikan sekuritas (rahn, sebagai sebuah jaminan dan bukti material) ketika tidak terdapat juru tulis yang ada—semua praktik pra-Islam yang diabsahkan al-Quran—atau secara umum, dengan perintah untuk memenuhi kontrak seorang, dan khususnya untuk mengembalikan sebuah kepercayaan atau titipan kepada pemiliknya. Perintah ini merupakan tipikal sikap etik al-Quran terhadap persoalan hukum.
Bahkan, larangan terhadap permainan tertentu, seperti perjudian (maisir) dan mengambil bunga (ribâ), walaupun secara langsung berkaitan dengan tipe khusus transaksi hukum, tidak dimaksudkan untuk menentukan aturan hukum yang mengatur bentuk dan akibat dari transaksi itu, tetapi untuk membangun norma moral di mana transaksi itu diperbolehkan atau dilarang. Gagasan mengenai transaksi seperti itu—jika disimpulkan bertentangan dengan larangan—tidak sah dan tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban, karena tidak tampak dalam al-Quran. Hal ini dikembalikan kepada Hukum Islam untuk membangun—di samping skala kualifikasi-kualifikasi keagamaan—skala kedua dari validitas hukum.
Sikap al-Quran yang sama mengatur hukum peperangan dan harta rampasan juga semua hukum keluarga yang kompleks. Hukum peperangan dan harta rampasan utamanya berkaitan dengan persoalan untuk menentukan musuh yang harus atau boleh diperangi, bagaimana harta rampasan didistribusikan (dalam kerangka umum aturan yang ditentukan hukum adat pra-Islam), dan bagaimana tawanan diperlakukan. Hukum keluarga dibahas lengkap dalam al-Quran sekalipun dalam beberapa paragraf yang terpencar-pencar (sebagian besar dalam Qs al-Baqarah dan Qs an-Niâ’). Di sini, tekanan utama diberikan pada persoalan bagaimana seseorang sebaiknya bertindak terhadap wanita dan anak-anak, anak yatim, sanak keluarga, orang yang menjadi tanggungan, dan budak-budak. Akibat hukum dari satu perbuatan yang sesuai dengan aturan-aturan itu tidak disebutkan dan sebenarnya secara umum sudah jelas. Sebuah perkawinan yang sah dan perceraian; tetapi akibat hukum dari sebuah tindakan yang bertentangan dengan aturan itu, persoalan pertanggungjawaban sipil, hampir tidak dipertimbangkan.
Pernyataan-pernyataan teknis hukum yang memberikan konsekuensi hukum terhadap serangkaian fakta atau tindakan tertentu yang relevan sepenuhnya tidak ada, sejauh menyangkut hukum obligasi dan keluarga. Pernyataan-pernyataan itu ada, dan memang sangat diperlukan, dalam bidang hukum pidana. Adalah mudah untuk memahami bahwa legislasi normatif al-Quran memasukkan sanksi-sanksi bagi pelanggaran hukum, tetapi sanksi itu pada dasarnya bersifat moral dan sekali waktu saja bersifat hukum pidana; larangan adalah elemen yang mendasar, ketetapan yang berkenaan dengan hukuman adalah peraturan tentang tindakan baik bagi para pelaku dari kekuasaan negara Islam yang baru didirikan, atau untuk korban dan keluarga terdekatnya dalam masalah-masalah tuntutan pembalasan.
Larangan mencuri kiranya cukup dikenal, dan hanya hukumannya yang ditentukan (Qs al-Mâ’idah: 38); sebaliknya meminum minuman keras (Qs al-Baqarah: 219; Qs an-Nisâ’: 43; Qs al-Mâ’idah: 90), judi, dan mengambil riba dilarang tanpa hukuman yang ditetapkan (kalau tidak, maka hukuman di neraka).5 Ada beberapa ketetapan berkenaan dengan tuntutan pembalasan dan uang darah (diyah al-qatl), pencurian, perzinaan, dan tuduhan palsu berzina, prosedur dalam dua kasus ini, dan perampokan.
Alasan-alasan bagi legislasi al-Quran dalam masalah ini, pertama-tama, adalah ketidakpuasan pada kondisi yang ada, keinginan untuk meningkatkan posisi kaum wanita, anak-anak yatim, dan orang-orang lemah pada umumnya, untuk membatasi kelalaian moral seks dan untuk memperkuat ikatan perkawinan, dan kadang-kadang untuk mengurangi pertumpahan darah, untuk membatasi praktik balas dendam pribadi dan menuntut balas; larangan main judi, dihubungkan dengan penyembahan berhala, larangan meminum minuman keras, dan larangan mengambil riba barangkali merupakan pemutusan yang paling jelas dengan standar perilaku orang-orang Arab zaman kuno.
Larangan mengambil riba tidak diragukan lagi telah dipengaruhi oleh pengenalan Muhammad dengan doktrin dan praktik orang Yahudi di Madinah dan bukan oleh reaksi terlebih dahulu di pihaknya terhadap praktik perdagangan orang-orang Makkah; dan perkembangan prinsip tuntutan pembalasan atas pembunuhan yang menyebabkan kerusakan fisik (Qs 4: 45), didasarkan pada apa yang Muhammad sudah pelajari dari bangsa Yahudi tentang Perjanjian Lama (Exed XXI 23-25); Lev XXV. 19f: Dent XIX 21). Di samping itu sudah menjadi keharusan untuk berhadapan dengan masalah-masalah baru yang muncul dalam bidang hukum keluarga, hukum penuntutan balas, dan hukum peperangan dikarenakan tujuan utama politik Nabi—bubarnya organisasi kesukuan dan penciptaan sebuah komunitas kaum Mukmin sebagai gantinya.
Hal ini cukup jelas khususnya dalam dorongan poligami oleh al-Quran (Qs 4: 3). Adalah mungkin bahwa beberapa pertikaian yang membuat kebutuhan tersebut semakin jelas.8 Kebutuhan yang kedua adalah legislasi al-Quran tentang waris, sebuah bidang yang jauh dilepaskan dari prinsip-prinsip moral dan sangat berhubungan dengan pemberian hak-hak individu. Bahkan di sini, legislasi al-Quran secara kronologis memulai dari menganjurkan aturan-aturan etis dalam memberikan peraturan-peraturan yang jelas tentang bagaimana cara memulai berkenaan dengan kepemilikan orang yang telah meninggal, dan bahkan dalam pembuatan peraturan yang paling final memelihara unsur-unsur etis dalam kecenderungan untuk memberikan bagian harta dalam warisan kepada orang-orang yang tidak mempunyai klaim atau hak untuk menerima waris berdasarkan hukum adat lama.
Ciri-ciri legislasi al-Quran ini dilestarikan dalam hukum Islam, dan sikap hukum semata-mata, yang mengakibatkan konsekuensi hukum terhadap tindakan-tindakan yang relevan, sering diganti oleh kecenderungan untuk menimpakan standar-standar etis kepada orang-orang yang beriman.
Joseph Schacht, dalam buku, "Pengantar Hukum Islam" Penerbit Buku Nuansa Cendekia
0 komentar:
Posting Komentar