Rabu, 19 November 2014

Remy Sylado: Membaca Buku Teoretis itu Konyol!

Tidak semua yang baik boleh dianggap bermanfaat. Tetapi saya percaya, dan karenanya saya sedang mengajak Tuan-Tuan dan Puan-Puan mau ikut percaya pada pendapat saya, bahwa buku karya Faiz Manshur Genius Menulis, Penerang Batin Para Penulis ini, selain baik juga bermanfaat.

Ketika saya bicara perkara baik dan bermanfaat, maka dengannya saya percaya telah mendapatkan dari buku ini dua sisi kekayaan khas dalam kualifikasi budaya tulis-menulis yang diberikan oleh Faiz Manshur kepada kita—yaitu saya dan mudah-mudahan juga Tuan-Tuan dan Puan-Puan—berupa pertama, kekayaan intelektual dan, kedua, kekayaan spiritual.

Saya rasa tidak perlu dibuat pelik-pelik merincikan soal apa yang saya maksudkan dengan kedua kekayaan tersebut, sebab saya percaya pula, jika Tuan-tuan dan Puan-Puan menyimaknya pagina demi pagina, maka Tuan-Tuan dan Puan-Puan akan menangkap maknanya. Dasarnya, saya menganggap bahwa catatan apresiasi terhadap buku ini dengan jalan mengurai alenia demi alenia dalam paragraf demi paragraf, malah mungkin akan menambah smusis terhadap arahan Faiz Manshur yang sudah tersusun urut seperti ini.

Maksud saya, seyogianya buku ini dikatakan memberi pengetahuan yang menangkaskan akal-budi tentang dunia tulis-menulis meliputi kecendekiaan dan kesungguhan, ditopang dengan kalimat-kalimat bernas dari peta pemikiran tokoh-tokoh penting dunia yang berperan dalam sejarah kebudayaan. Pengetahuan itu dipetik, diramu, dilaraskan menjadi seperti asam di gunung dan garam di laut dan menjadi satu dalam kuali. Dan, di situlah cerdik-cendekianya Faiz Manshur memainkan perannya sebagai koki.

Oleh sebab itu, saya harus mengerti pengantar apresiasi yang saya buat ini bukanlah catatan sok-tahu, sok-kritis, sok-nyekolah, seperti yang biasa kita temukan dalam sejumlah buku: fiksi ataupun non-fiksi. Saya justru harus sebolehnya menghindar dari kemungkinan tertawan dalam kebiasaan itu, supaya Tuan-Tuan dan Puan-Puan tidak direcoki oleh pendapat saya, dan sebaliknya dengan ini, saya mempersilakan Tuan-Tuan dan Puan-Puan langsung mencamkan pendapat Faiz Manshur: pendapat dari, katakanlah, pendapat-pendapat yang telah mewujud sebagai bacaan mustahak dari dua kekayaan yang saya sebut di atas.

Tetapi, juga penting saya katakan di sini, bahwa buku ini menarik, sebab buku ini bukanlah model wacana pengajaran teoretis yang disajikan kepada pembaca untuk menjadikan pembaca sebagai penulis: sejauh hakikatnya toh buku ini merupakan tuntunan dan arahan untuk menjadi penulis yang mustaid.

Buku ini memang tidak seperti kebanyakan buku tuntunan atau arahan menulis yang ditulis oleh kelas “guru desa” dari fakultas-fakultas ilmu pendidikan yang sesak oleh teori-teori, mbulet, se­hing­ga menakutkan untuk diejawantah dalam praktik. Buku-buku pelajaran menulis yang ditulis oleh kelas guru desa itu, lebih banyak melahirkan kembali kelas tukang yang hanya sekadar pandai belaka—pandai dalam acuan yang muradif dengan “pandai besi”, “pandai batu”, “pandai kayu”—tidak cerdik-cendekia sebagai pelaku praktik budaya tulis-menulis yang karenanya bisa diharapkan memberi dua kekayaan tersebut.

Berjalan seiring dengan ikhtiar Faiz Manshur dalam buku ini, saya ingin mengatakan, bahwa isyarat cerdik-cendekia yang ditakar atas diri seorang pelaku budaya tulis menulis, halnya memang kudu dihubungkan dengan kemestiannya memberi dua kekayaan khas tadi yang menjaminnya menjadi baik dan bermanfaat. Modalnya dibentuk dari (1) bakat, (2) kemauan, (3) kesungguhan.

Adapun buku-buku yang tidak memiliki isyarat seperti yang dise­but ini, yaitu buku-buku yang maunya menuntun dan mengarahkan orang sebagai, katakanlah, tukang yang pandai dengan perangkat teori-teori yang jelimet, tetapi konon akademis, hasilnya lebih pada memuaskan diri sendiri dalam mana barangkali penulisnya orgasme sendiri pula, dan bukannya menjadi bacaan yang sanggup merangsang dan mendorong pembaca untuk berkeinginan dan berkemauan bertindak dalam praktik.

Kiranya membaca buku-buku jenis teoretis seperti itu sama konyolnya berharap berhasil dari membaca buku-buku tuntunan atau arahan tertentu atas, misalnya, cara berenang, cara berpidato, cara bermain piano, pendeknya cara ini-itu yang karuan memusingkan, sehingga hasilnya dapat diterka:  membuat pembacanya malah gagal menjadi perenang, orator, pianis, dan seterusnya.

Maka, sekali lagi, yang mustahak dalam kerja budaya tulis-menulis—tentang seseorang yang menjadi penulis—adalah mempersoalkan dengan betul ketiga akar antara bakat, kemauan, dan kesungguhan. Hal itu terwakili dalam buku Faiz Manshur ini.

Jelas, Faiz Manshur mengerti sekali, kepada siapa buku ini ditulis. Yaitu, tak lain adalah kepada orang-orang yang berani memilih budaya tulis-menulis sebagai beroep: mereka yang tergolong intelektual dan menulis sebagai mata-pencarian yang dengannya niscaya memberi kepuasan spiritual bagi dirinya dan pembacanya, tetapi sekaligus juga, dalam kenyataannya, tidak banyak di antara mereka yang memahami seluk-beluknya, antara lain karena barangkali tidak hirau atau juga alpa, sehingga perlu diingatkan, yaitu membaca buku ini agar memperoleh—dalam istilah Faiz Manshur—penerang batin. Kalau begitu, syabaslah.

Dalam kaitan menempatkan budaya tulis-menulis sebagai beroep atau pekerjaan yang menghasilkan pendapatan, Faiz Manshur mengu­tip kata-kata Gertrude Stein, “Yang membedakan manusia dari binatang adalah uang.” Mestinya bagus juga kata-kata Sun Yat Sen, bapak bangsa Cina modern, “Yang membedakan manusia dengan hewan bukan sandang-pangan-papan tetapi buku.”

Pada bagian penutup catatan saya ini, akhirnya saya ingin bilang kepada Tuan-Tuan dan Puan-Puan, bahwa buku Faiz Manshur ini harus ditaruh di perpustakaan rumah Tuan-Tuan dan Puan-Puan supaya Tuan-Tuan dan Puan-Puan berbeda dengan binatang. Punten.

Remy Sylado, dalam buku "Genius Menulis; Penerang Batin Para Penulis" Penerbit Buku Nuansa Cendekia

0 komentar:

Posting Komentar