Kamis, 13 November 2014

Khofifah Indar Parawansa: Agama, Toleransi, dan Komunikasi

Di tengah semakin meningginya tingkat kemiskinan dan semakin bertambahnya korban bencana alam, dibutuhkan agama yang mendorong umatnya untuk saling bekerjasama dalam membangun cinta, solidaritas dan kemanusiaan bersama. Agama menjadi relevan ketika ia tampil sebagai perekat bangsa dan sebagai sumber perubahan sosial yang membawa keadilan, kesetaraan dan perdamaian.
Seluruh pemeluk agama, baik Muslim maupun non-Muslim, semestinya saling memahami ajaran agama lain dan menjalin hubungan komunikasi serta toleransi agar konflik antaragama dapat dihindari. Komunikasi dan toleransi serta pemahaman terhadap ajaran agama pemeluk agama lain dapat menciptakan sensitivisme keagamaan.

Beberapa waktu lalu, saat beredar informasi tentang adanya Al-Quran yang diinjak-injak di Guantanamo, kamp militer Amerika Serikat di Kuba, seluruh umat Muslim di dunia gempar dan mengecam tindakan tersebut tanpa dikomando karena menganggap hal itu sebagai bentuk pelecehan terhadap Kitab Suci kaum Muslim. Demikian pula halnya dengan publikasi karikatur Nabi Muhammad di Jerman yang dianggap telah melecehkan Islam dan Nabi yang sangat dihormati kaum Muslim.

Ada pengalaman menarik yang penting dikemukakan, yaitu pengalaman saya saat menghadiri pertemuan dengan sejumlah observer (pengamat) agama bersama K.H. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU) di Jerman. Pada pertemuan itu, saya sempat diberi salib yang terbuat dari kayu. Ukurannya sekitar 10 centimeter dan terdapat tulisan Palestine Wood yang berarti bahwa salib tersebut terbuat dari kayu yang berasal dari Palestina. Saya mengatakan bahwa saya bisa saja membakar salib ini atas nama demokrasi, seperti yang didengung-dengungkan warga Jerman, tetapi hal itu tidak saya lakukan karena saya menghargai bahwa salib merupakan simbol agama yang dihormati kaum Nasrani.

Oleh karena itu, saya yakin bahwa karikatur Nabi Muhammad yang dianggap sebagai bentuk pelecehan dan penistaan Nabi kaum Muslim, seperti yang dimuat di surat kabar Jerman, Jylland Posten, tidak akan terjadi bila yang bersangkutan memahami agama lain termasuk simbol-simbol agamanya. Selain itu, faktor miskomunikasi ini juga menjadi penyebab terjadinya kehidupan destruktif yang ending-nya bisa melahirkan separatisme, seperti kasus Ambon.

Konflik yang terjadi di Ambon, beberapa tahun lalu, mengatasnamakan agama (perang agama antara Islam dan Kristen). Padahal sesunguhnya, pemicu peristiwa tersebut adalah masalah sepele yang tidak ada kaitannya dengan agama tertentu. Selain itu, sekiranya terjalin dialog atau komunikasi dalam menangani masalah ini sejak dini, konflik SARA tersebut tidak akan terjadi. Ini penting karena seringkali simbol-simbol agama dieksploitasi, sementara konflik yang terkait dengan SARA sangat cepat menyebar. Untuk meredam konflik seperti itu, tokoh-tokoh agamalah yang berkompeten untuk menyelesaikannya, karena mereka dianggap sebagai pihak yang paling memahami ajaran agama lain.

Di tengah umat Muslim sendiri diakui adanya kelompok ekstrem (yang memahami dan menerapkan nilai-nilai keagamaan secara ketat) dan kelompok liberalis (yang memahami nilai-nilai keagamaan secara longgar). Oleh karena itu, dalam hal ini kita harus melihat persoalan secara proporsional dan adil. Semestinya masyarakat bisa membedakan antara Islam as a teaching (Islam sebagai ajaran) dan Islam as a movement (Islam sebagai pergerakan). Terjadinya kerusuhan sosial di Patani, Thailand Selatan, misalnya, yang mengarah pada konflik SARA (suku, agama dan ras), sebenarnya dipicu oleh keinginan pihak-pihak tertentu untuk meraih kekuasaan. Namun karena mereka melibatkan nilai-nilai keagamaan, maka terjadilah konflik antaragama. Padahal, jika masing-masing pemeluk agama memahami ajaran agama lain, kerusuhan sosial seperti itu dapat dihindari dan keharmonisan antarpemeluk agama pun dapat terwujud.

Sepatutnya kita belajar dari pengalaman sejarah ketika toleransi dikedepankan, sehingga tumbuh empati terhadap Islam. Dalam sejarah Islam, kita mengenal adanya Perang Salib, dan tokoh Shalahuddin al-Ayyubi. Pada suatu hari, Shalahuddin al-Ayyubi sedang duduk di perkemahan. Di saat dia sedang serius memberikan wejangan, tiba-tiba ada seorang perempuan kafir berdiri di depan perkemahannya. Perempuan berwajah muram ini ber­teriak dengan suara yang sangat keras sehingga suasana menjadi gaduh.

Melihat kejadian tersebut, para prajurit segera ber­tin­dak menjauhkan perempuan itu dari perkemahan. Namun, Shala­huddin mencegahnya dan memerintahkan para prajurit agar membawa masuk perempuan itu. Begitu perempuan itu menghadap, pimpinan umat yang berhasil merebut kembali Jerusalem dari penguasaan tentara Salib ini segera menanyakan apa sebabnya perempuan itu bersedih. Perempuan itu menjawab, “Anakku diculik dan suamiku disandera sebagai tawanan perang. Padahal, suamikulah yang memberikan nafkah buatku.”

Pernyataan perempuan tersebut membuat Shalahuddin ter­haru. Seketika itu juga dia memerintahkan para prajurit agar segera melepaskan suaminya. Dia juga memerintahkan para prajurit agar mencari anaknya yang hilang diculik.

Mendapatkan perintah tersebut, para prajurit segera melak­sanakan­nya sampai akhirnya berhasil mendapatkan anak yang diculik itu. Dengan segera pula, si anak diserahkan kepada ibunya. Betapa bahagianya perempuan itu mendapatkan lagi suami dan anaknya ke pangkuannya.

Perempuan tersebut sangat berterimakasih dan me­muji tindakan Shalahuddin. Mendengar pernyataan dari perempuan itu, Shalahuddin berkata, “Kami tidak melakukan sesuatu apa pun, kecuali apa yang telah di­peritahkan oleh agama kami.”

Mendengar ungkapan Shalahuddin demikian, pe­rempuan itu lantas bertanya, “Apakah agama Tuan m­e­merintahkan kasih sayang terhadap musuh, serta membantu orang-orang yang lemah?”

“Benar,” jawab Shalahuddin. ‘’Islam adalah agama Allah di dunia ini. Agama-Nyalah yang senantiasa memberikan rahmat serta menjadi penyelamat bagi seluruh umat.”

Mendapat jawaban ini, perempuan itu tergugah hatinya. Ia pun bersyahadat bersama suaminya. “Saya mencintai agama yang senantiasa bertoleransi dan mulia itu, seperti yang tercermin dari sifat-sifat dan akhlak Tuan.”

Kisah sejarah semestinya menjadi pelajaran bersama bagi kita, seperti yang dilakukan dalam dakwah Shalahuddin tadi. Ia menunjukkan dua hal sekaligus, yaitu Islam sebagai agama yang santun dan yang mengajarkan toleransi. Dialah pemimpin Islam yang namanya selalu disebut dengan nada takzim, bahkan di kalangan pembesar Tentara Salib. Shalahuddin menunjukkan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, memberikan perasaan nyaman terhadap pemeluknya, dan membuat orang lain bersimpati.
Dalam konteks zaman sekarang, ketika masing-masing pe­meluk agama mengedepankan simbol-simbol agama, semestinya dibangun sikap saling memahami ajaran agama pemeluk lain dan dijalin hubungan komunikasi dan toleransi agar konflik antaragama dapat dihindari. Komunikasi dan toleransi serta adanya pemahaman ajaran agama pemeluk lain dapat menciptakan sensitivisme agama.

Khofifah Indar Parawansa dalam buku "Islam, NU, dan Keindonesiaan" Penerbit Buku Nuansa Cendekia


0 komentar:

Posting Komentar